Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kepentingan Kelompok

11 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

A. Mustofa Bisri Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang. Para kiai yang tergabung dalam semacam paguyuban— untuk gampangnya, sebut saja namanya Forum Pengasuh Pesantren Jawa Tengah—berdatangan di Rembang, Jawa Tengah, Sabtu, 26 Juni lalu. Mereka berkumpul di Pesantren Taman Pelajar Rembang asuhan Kiai Cholil Bisri. Menurut keterangan Kiai Machfud Ridwan, Salatiga, dan Kiai Nadzief Mrangen dari Forum, yang menjadi panitia penyelenggara, pertemuan ini juga dihadiri oleh kiai-kiai pengasuh pesantren dari Jawa Barat, Jawa Timur, DIY, dan Bali. Saya diminta mewakili Kiai Cholil menyambut para tamu sebagai sahibul bait karena hari itu beliau sedang sakit. Rupanya, para kiai Forum Pengasuh Pondok Pesantren Jawa Tengah itu prihatin dan khawatir melihat perkembangan perpolitikan pascapemilu dewasa ini. Penonjolan kepentingan kelompok atau golongan, sebagaimana diajarkan rezim Soeharto, masih merajalela. Terlebih lagi, pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan ternyata telah mendominasi wacana dalam masyarakat, sehingga mengkhawatirkan justru akan menenggelamkan cita-cita reformasi yang paling mendasar: membangun Indonesia baru yang lebih baik, lebih beradab, dan demokratis, serta menyelamatkan rakyat dari kubangan kesulitan yang menjerat hampir seluruh bidang kehidupan mereka. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah karena dalam pertarungan kepentingan kelompok, cara-cara kuno seperti mencari dukungan yang berbau intimidasi terhadap kelompok lain masih juga dipraktekkan. Bahkan penggunaan agama serta eksploitasi sentimen agama dan sentimen primordial lainnya tampak lebih marak. Para pengasuh pesantren yang setiap hari banyak bergaul dengan masyarakat kecil itu khawatir, jika praktek-praktek lama berupa dukung-mendukung yang berbau intimidasi terhadap pihak lain diterus-teruskan, akan semakin menyulut konflik antarsesama komponen bangsa, dan lagi-lagi akan menyusahkan rakyat kecil. Di benak para kiai yang sederhana itu, rakyat telah dengan gairah menggunakan hak pilihnya dalam pemilu kemarin. Dengan demikian, mestinya orang tinggal menunggu waktu ketika wakil-wakil yang mereka percayai dan pilih melaksanakan tugas yang mereka amanatkan, sebagaimana juga dituntut oleh gerakan reformasi. Mekanisme sudah ada. Soal pemilihan presiden, misalnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat-lah yang akan melakukannya. Rakyat sudah mempercayai dan memilih wakil-wakil mereka, giliran wakil-wakil rakyat di lembaga tertinggi negara itu yang melaksanakan amanat dengan penuh tanggung jawab, baik kepada rakyat maupun terutama kepada Tuhan. Mudah-mudahan, para wakil rakyat yang mengemban amanat mulia itu dianugerahi Allah kekuatan lahir-batin, hingga tetap setia kepada nurani, arif, jujur, dan dapat menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan sendiri atau kelompok. Kalaupun ada pihak-pihak yang sejak sekarang ingin memberi masukan kepada para wakil rakyat itu, tentu tidak ada salahnya, bahkan mungkin baik. Cuma, haruslah tetap diingat bahwa kita semua sedang mengusahakan perbaikan bagi Indonesia dan rakyat Indonesia secara keseluruhan, bahwa semua yang kini kita lakukan adalah sekedar wasilah, yakni jalan atau cara untuk mencapai ghayah, tujuan akhir: terciptanya Indonesia baru yang lebih baik, beradab, demokratis, dan menyejahterakan rakyat. Jangan sampai baru di tahap wasilah, kita telah berantem sesama kita, gara-gara masing-masing menonjolkan kepentingan kelompoknya, dan dalam "memberikan masukan" menggunakan cara-cara usang: tidak hanya cukup memuji dan mendukung pendapat dan pihaknya sendiri, tapi dilanjutkan dengan mendiskreditkan dan bahkan mengintimidasi pihak lain. Dan sikap adil serta jujur, termasuk kepada diri sendiri, perlu tetap dijaga. Begitulah…. Sebagai pribadi yang hanya menjadi wakil sahibul bait dalam pertemuan para kiai pengasuh pesantren itu, saya bersyukur bahwa apa yang saya rasakan, khawatirkan, pikirkan, dan harapkan, ternyata juga dirasakan, dikhawatirkan, dipikirkan, dan diharapkan oleh para kiai yang rata-rata merupakan sesepuh desa itu. Yang barangkali tidak diketahui oleh kebanyakan para kiai pesantren itu adalah bahwa "kepentingan" saat ini memang sudah benar-benar menjadi panglima. Dari kalangan pers pun, sikap memandang, mendengar, dan berbicara berdasarkan kepentingan juga cukup mendominasi. Terbukti di tangan pers pun pertemuan sederhana di Rembang itu bernasib sama, diperlukan sebagai komoditi pendukung kepentingan pula. Ini terlihat dari pemuatan berita tentang pertemuan itu dan komentar-komentarnya yang berbeda-beda. Tiap-tiap media berkomentar dengan aksentuasinya, bahkan plesetannya, sesuai dengan kepentingannya sendiri. Ironis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus