A. Tony Prasetiantono
Staf pengajar Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta
USUL dan desakan agar Indonesia mendapat pengampunan utang akhir-akhir ini semakin gencar, terlebih menjelang berlangsungnya Sidang CGI (Consultative Group on Indonesia) di Paris, 27-28 Juli 1999. Dari sisi pemerintah, usul itu dinilai kurang realistis karena Indonesia bukanlah negara debitur yang tergolong sangat miskin. Lagi pula, pengalaman menunjukkan, negara donor hanya lebih mudah "memaafkan" utang negara-negara yang teramat miskin di Afrika, yang pendapatan per kapitanya cuma US$ 100 atau US$ 200. Angka ini jauh lebih rendah ketimbang pendapatan per kapita Indonesia sebelum krisis yang US$ 1.000 dan sekarang sekitar US$ 700—ini dengan asumsi rupiah cenderung menguat dan stabil. Lalu, bagaimana peluang kita untuk mendapatkan pengampunan?
Hiruk-pikuk mengenai isu utang tak begitu berbeda dengan ribut-ribut serupa yang pernah meledak di Amerika Latin pada 1982-1983. Mereka tidak bisa membayar utang karena suku bunga internasional tiba-tiba naik, sebagai dampak pengetatan likuiditas yang dilakukan ketua bank sentral AS—waktu itu Paul Volcker—untuk memerangi inflasi. Akibatnya, tambahan beban bunga yang harus dibayar (unanticipated interest payments) melonjak sampai US$ 41 miliar. Pada Juli 1985, Presiden Peru Alan Garcia merajuk tak mau membayar utang. Secara sepihak, Peru hanya mau membayar maksimal setara dengan 10 persen dari nilai ekspor negara itu dalam setahun.
Deadlock ini harus diakhiri. Menteri Keuangan Amerika James Baker merintis inisiatif baru di Seoul, Oktober 1985. Intinya, kinerja ekonomi negara-negara debitur perlu didorong. Caranya, mereka perlu mendapat tambahan utang sehingga perekonomiannya tumbuh, neraca pembayarannya membaik, dan selanjutnya dapat melunasi utang. Baker mendaftar 17 negara yang dianggap layak masuk skemanya (Baker Plan), yaitu Argentina, Bolivia, Cile, Kolombia, Brasil, Kosta Rika, Pantai Gading, Ekuador, Jamaika, Meksiko, Maroko, Nigeria, Peru, Filipina, Uruguay, Venezuela, dan Yugoslavia.
Rencana Baker ternyata dianggap belum cukup baik oleh Menteri Keuangan AS pengganti Baker, yaitu Nicholas Brady. Pada 1988 dan 1989, di Toronto, ia mengumumkan inisiatif baru (Brady Plan). Intinya, utang negara-negara debitur itu harus diputihkan sebagian, serta upaya penjadwalan pembayaran utang dilanjutkan kembali. Berbagai inisiatif atau skema baru itu pada intinya sejalan dengan usul beberapa ekonom AS terkemuka, yang diwakili oleh Anne O. Krueger (Duke University) dan kawan-kawan. Mereka menegaskan perlunya berbagi beban antara debitur dan kreditur.
Hasilnya, dicapai kesepakatan dalam penyelesaian utang swasta. Skema yang paling banyak ditetapkan adalah pola konversi debt-equity swaps, atau mengubah status utang (debt) menjadi kepemilikan (equity). Sedangkan dalam kasus utang pemerintah, perundingan dilakukan melalui Paris Club.
Utang pemerintah dari negara-negara Afrika memang banyak yang diampuni. Mereka umumnya termasuk kategori negara miskin yang utangnya banyak (severely indebted low income). Secara absolut, sebenarnya utang mereka tidaklah besar. Pada akhir 1989, misalnya, seluruh utang negara-negara Afrika sub-Sahara tercatat US$ 147 miliar atau jauh lebih kecil dari utang negara-negara Amerika Latin dan Karibia, yang mencapai US$ 442 miliar. Namun, secara relatif atau dibandingkan dengan skala ekonomi dan daya bayarnya, utang Afrika jelas lebih parah. Dibandingkan dengan GNP (gross national product), Afrika mencatat 98,3 persen, dibandingkan Amerika Latin 46,7 persen. Artinya, utang Afrika sama dengan produk nasional brutonya selama satu tahun. Dalam ukuran lain, utang total itu jumlahnya tiga kali lipat (300 persen) terhadap nilai ekspornya.
Dalam kondisi separah itu, memang tidak ada pilihan lain bagi negara-negara Afrika. Mereka harus masuk dalam skema Brady dan berunding di Paris Club, 1989-1990. Di sana muncul tiga pilihan. Opsi A, utang "didiskon" atau dihilangkan sepertiga. Opsi B, jatuh tempo diperpanjang sampai 25 tahun. Opsi C, pemangkasan suku bunga. Sebagian besar kreditur tentu saja memilih opsi B dan C, kecuali Prancis, Finlandia, dan Swedia, yang dapat menyetujui opsi A.
Pertanyaannya sekarang, layakkah Indonesia diperlakukan seperti negara-negara Afrika. Utang Indonesia sekitar US$ 140 miliar (utang pemerintah US$ 67 miliar, sisanya swasta). Jumlah ini termasuk besar, baik secara absolut maupun relatif. Angka itu kira-kira setara dengan GNP kita sekarang. Artinya, dalam hitungan relatif, posisi Indonesia sesungguhnya tidak berbeda dengan Afrika, yang total utangnya sama besar dengan GNP-nya.
Kita tunggu saja, apakah lobi pemerintah, atas dasar data dan fakta negara lain itu, bisa meyakinkan kreditur bahwa mereka perlu memberikan debt relief (pengampunan utang) kepada kita. Namun, yang jelas, dalam Sidang CGI kita harus mengajak para kreditur berunding ke Paris Club. Selain opsi A, B, dan C, kita pun memerlukan opsi lain (D), misalnya penghapusan bunga. Alasannya, utang yang kita terima dari CGI dan IGGI selama ini sebagian besar berupa proyek yang dibelanjakan kembali ke negara donor. Ini berarti, para kreditur juga telah menerima manfaat dari paket proyek utang pemerintah itu. Jadi, adalah logis bila mereka juga ikut menanggung bebannya, misalnya dengan memutihkan bunganya.
Rasanya, kita memang sedang berayun-ayun dalam pendulum skema Baker dan Brady. Kita masih memerlukan utang baru untuk mendorong perekonomian (Baker), tapi kita juga sangat membutuhkan skema konkret untuk meringankan beban pembayaran utang (Brady). Selamat bersidang CGI di Paris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini