Markus H. Dipo
Penulis adalah dosen FEUI dan praktisi bisnis
Kalau ia dilahirkan sebagai wanita, repotlah saya. Saya tidak akan berani melarang pemuda mana pun untuk menggodanya." Begitulah Warren Harding—presiden Amerika Serikat yang dianggap paling gagal—dihina bapaknya sendiri. Harding sebenarnya tidak pernah bercita-cita menjadi presiden. Hanya karena dorongan istri dan temannya ia tergerak mengikuti kompetisi presiden. Jadilah ia presiden yang hanya terombang-ambing dipentalkan berbagai masalah dan saran, yang bingung memilih alternatif keputusan, dan yang dipecundangi banyak anak buahnya yang korup.
Kasus Harding membuktikan bahwa presiden terpilih ala demokrasi belum pasti presiden kompeten. Sebenarnya, hanya tiga dari 41 presiden Amerika Serikat yang benar-benar dikagumi para sejarawan. Mereka adalah Washington, Lincoln, dan Franklin Roosevelt. Presiden yang sukses selalu unggul dalam lima kualitas: memiliki visi, pragmatis, peka dengan keinginan mayoritas rakyat, berkarisma tinggi, dan berkredibilitas tinggi. Kesimpulan sejarawan Robert Dallek (1996) terhadap analisis prestasi 41 presiden Amerika itu tentu saja berguna untuk diujicobakan di Indonesia: "Presiden seperti apakah yang akan sukses memimpin Indonesia baru?"
Presiden sukses tahu yang seharusnya dilakukan. Dalam kasus Indonesia, ada beberapa pertanyaan kunci yang harus dijawabnya. Pemerintah sebenarnya kunci pembuka atau penutup masalah? Blunder terbesar kita adalah menganggap pemerintah sebagai kunci penutup masalah. Kita lupa bahwa hampir semua masalah serius Indonesia sebenarnya diciptakan pemerintah.
Presiden yang cukup sukses seperti Jefferson dan Reagan tahu dan sudah menentukan sikap dari awal bahwa pemerintah adalah masalah, bukan solusi masalah. Ini berarti peran aktif pemerintah harus dikurangi, bukan ditingkatkan. Birokrasi dan peraturan berlebihan harus dipangkas. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mungkin harus dibubarkan. Berbagai bentuk pengisapan atau pemerasan atas rakyat harus dibabat. Berbagai intervensi bisnis yang bertentangan dengan prinsip persaingan sehat dan mengurangi daya saing perusahaan Indonesia harus dicabut.
Menjadi negara seperti apakah Indonesia pada dua, lima, dan sepuluh tahun mendatang? Calon presiden yang merasa tugasnya hanya membantu Indonesia keluar dari krisis dan membangun demokrasi adalah calon yang namanya tidak akan banyak dipuji dalam buku sejarah kelak. Calon yang merasa mendapatkan giliran untuk menikmati keempukan kursi pejabat dan membagi keempukan itu kepada saudara dan teman akan menjadi calon yang lebih sering disebut, tetapi dalam konteks negatif, seperti Harding.
Memiliki visi tidak sama dengan merasa pintar. Calon presiden tidak harus pernah mempelajari teknis kebijakan politik dan ekonomi sendiri. Yang harus dimilikinya adalah kemauan belajar. Ia harus menguasai cara berpikir sistematis dan multifungsional, seperti pembangunan Indonesia seharusnya tidak dipusatkan di Pulau Jawa dan transmigrasi seharusnya juga didukung penduduk lokal. Kebanggaan berlebihan atas bahasa Indonesia melalui berbagai praktek larangan penggunaan bahasa asing akan menghambat penguasaan bahasa internasional. Ini semua hanyalah contoh kecil aplikasi berpikir sistematis dan multifungsional.
Yang juga harus dimilikinya adalah pembantu yang kompeten. Ujian pertama bagi presiden baru adalah bagaimana ia membentuk kabinet. Presiden sukses akan bebas dari sikap partisan yang hanya mengamankan diri dari kritik dengan mengangkat rekan separtai atau sedaerah asal. Ia juga tidak akan senang dengan pembantu "asal bapak senang" yang mengipasi egonya.
Justru calon presiden yang merasa pintar tidak akan mampu memenuhi tuntutan sederhana di atas. Dengan merasa pintar, ia hanya akan mendengar pendapatnya sendiri dan mendikte bawahannya. Hanya bawahan yang kurang intelek yang rajin memberikan respons yang ingin didengar sang presiden, sehingga sang presiden akan betah bekerja dengannya. Sang presiden akan terkurung dalam wawasan kebijakan yang sempit.
Presiden sukses tahu apa yang bisa atau tidak bisa dilakukan. Ia tidak akan mengumbar janji untuk melakukan tindakan yang tidak bisa diselesaikannya. Janji pelaksanaan tindakan yang diinginkan rakyat tapi tidak efektif juga akan dihindarinya. Dalam konteks ini, ada dua pertanyaan penting yang perlu diajukan kepada para calon.
Bisakah keluarga Soeharto diadili dan hartanya, jika ada, dikembalikan ke negara? Yang menjawab bisa hanya menunjukkan ketidakpahamannya atas dunia "pencucian" uang. Rekening rahasia biasanya dibuka dengan nama samaran. Hanya dengan persetujuan dan tanda tangan pemilik rekening, data rekening itu bisa dibeberkan. Lebih rumit lagi, identitas pemilik rekening bisa disamarkan melalui perusahaan, foundation, atau trust yang bisa dibentuk di banyak negara. Di Liechtenstein, yang terletak di antara Austria dan Swiss, Anda bisa mendirikan anstalt—perusahaan yang pemiliknya satu orang. Ini sebuah bentuk perusahaan favorit untuk Central Intelligence Agency (CIA), Kommissariat Gosudarstvenni Bezopastnotsi (KGB), bankir Swiss, dan orang kaya yang ingin menyembunyikan harta.
Tapi tanpa langkah pengamanan yang baik, koruptor yang menyembunyikan uang dengan mekanisme seperti itu akan menyesal. Bankir-bankir Swiss, misalnya, tidak merasa tega mengorup dana simpanan orang Yahudi yang dibantai di Jerman. Mengapa mereka tidak berani mengorup dana simpanan koruptor yang tidak diakui kekorupsiannya di negaranya sendiri? Beranikah koruptor itu mengklaim kembali miliknya karena pada saat yang sama ia akan mengakui bahwa ia koruptor?
Kedua fakta itu mengisyaratkan bahwa solusi terbaik atas masalah Soeharto mungkin bukan pengadilan biasa, seperti yang disarankan selama ini. Yang menjawab "bisa" mengadili Soeharto juga lupa bahwa keluarga Soeharto terkait dengan banyak kredit macet di Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Kalau mereka dihukum, siapa yang akan melunasi utang-utang itu?
Mana yang lebih penting: mengadili Soeharto dan kawan-kawan, mempercepat pemulihan pertumbuhan ekonomi, menghapus dwifungsi ABRI, atau membangun institusi yang berfungsi untuk menopang perkembangan Indonesia dan mencegah korupsi baru? Sama seperti halnya mencari jodoh, tidak semua hal yang diinginkan bisa diwujudkan. Mengadili Soeharto dan kawan-kawan mungkin pilihan yang optimal bagi keadilan. Tetapi itu belum tentu pilihan yang optimal untuk mempercepat pemulihan pertumbuhan ekonomi. Semakin banyak harta yang dimiliki Soeharto, semakin besar kemungkinan terwujudnya konflik besar. Sejarah telah menunjukkan semakin besar suatu pihak akan dirugikan oleh suatu proses reformasi, semakin keras pihak tersebut akan mengadakan perlawanan. Menghapus dwifungsi ABRI jelas pilihan yang idealis. Tetapi, apakah ia pilihan yang pragmatis?
Presiden sukses memahami kehendak rakyat banyak. Ia juga sadar yang muncul di perdebatan elite belum tentu yang dikehendaki rakyat banyak. Pemahaman akan kehendak rakyat banyak ini penting karena presiden membutuhkan dukungan rakyat untuk sukses. Ia harus membangun kredibilitasnya dengan mewujudkan yang diinginkan rakyat. Dengan kata lain, presiden sukses tidak akan gegabah melakukan tindakan yang tidak didukung rakyat. Popularitas Presiden L.B. Johnson jatuh karena ia memulai intervensi di Vietnam yang ternyata tidak didukung rakyat Amerika.
Walaupun demikian, presiden sukses juga sadar bahwa kehendak mayoritas bukanlah kehendak yang pasti paling bijaksana. Seperti ayah yang memiliki banyak anak kecil, ia harus tahu bahwa tangisan sekaligus dari anaknya yang banyak itu sewaktu meminta sesuatu, misalnya permen, bukanlah tangisan yang selalu baik untuk dipenuhi.
Isu paling hangat di sini adalah ekonomi rakyat. Presiden sukses harus sadar bahwa manusia Indonesia yang sukses secara finansial seharusnya tidak hanya yang menjadi tentara, pengusaha, dan pejabat korup. Asumsi implisit dalam ekonomi rakyat adalah penguasaan aset fisik dan finansial sebagai syarat sukses. Apakah ini asumsi yang sehat? Bukankah asumsi ini yang seharusnya dipecahkan? Bukankah lebih pantas kalau rakyat juga bisa hidup layak sebagai guru sekolah dasar negeri, pegawai negeri tanpa korupsi, dosen, pelatih dan pemain sepak bola, wartawan, sopir bus kota? Keanekaragaman profesi yang layak hidup seharusnya dipikirkan sebagai salah satu tujuan ekonomi rakyat.
Kriteria lain menyangkut karisma tinggi. Berkarisma tinggi identik dengan dihormati. Perawakan fisik yang kurang mendukung bisa menghambat, tetapi bukan halangan permanen. Abraham Lincoln mulanya sering diejek seperti jerapah atau monyet. Tetapi sikap rendah hatinya, kualitas pidatonya, humornya, kecerdasannya, dan komitmennya, mengikis semua kesan negatif itu dengan cepat. Penampilan yang mendukung juga belum tentu jaminan karisma tinggi. Blunder dan cacat yang sering dijumpai adalah nepotisme, kegagalan mengendalikan anak buah dan keluarga, dan karakter yang tidak jujur. Beberapa aksi yang bisa meningkatkan karisma adalah sikap rendah hati, kejujuran, patriotisme, up grading penampilan, dan peningkatan kemampuan berkomunikasi. Kabar baik untuk Cak Nur dan Gus Dur—kasus Washington dan Franklin Roosevelt menunjukkan bahwa keengganan menjadi presiden atau keterbatasan fisik ternyata bisa meningkatkan karisma.
Calon presiden yang terlalu dekat dengan Orde Baru dan Soeharto jelas memiliki handicap karisma. Handicap ini akan menghambat usahanya untuk melakukan rekonsiliasi nasional. Gerald Ford adalah wakil presiden kabinet Nixon yang diusulkan oleh Nixon. Ketika Nixon mengundurkan diri akibat skandal Watergate, dan Ford--sebagai presiden pengganti--memutuskan mengampuni Nixon, kredibilitasnya langsung jatuh. Calon presiden yang dekat dengan kubu status quo akan menghadapi hambatan yang sama untuk menyelesaikan masalah Soeharto. Calon presiden yang terlalu dekat dengan TNI juga akan menghadapi masalah serupa dalam menghadapi masalah dwifungsi ABRI.
Syarat lain yang diperlukan adalah sosok yang punya kredibilitas tinggi. Kredibilitas adalah masalah kontinuitas karisma. Calon presiden sukses harus memikirkan bagaimana kepercayaan dari rakyat bisa semakin ditingkatkan dan dipertahankan. Di sini, aksi dan hasil aksi jauh lebih berarti daripada janji. Sejarah Amerika menunjukkan bahwa kemenangan suara tipis justru lebih memotivasi presiden baru untuk berusaha meningkatkan kredibilitasnya. Sangat berbeda dengan perilaku agak cuek presiden baru yang menang mutlak. Resep teruji untuk meningkatkan kredibilitas adalah memberikan hasil yang diinginkan rakyat, mencegah kroniisme, tidak menjanjikan yang tidak mungkin, dan menyampaikan fakta apa adanya.
Lalu, siapa yang paling berpeluang menjadi presiden yang sukses? Tiga studi dari American Psychological Association sebaiknya ditinjau dulu. Studi-studi ini dilakukan atas kepribadian 41 presiden AS dan calon presiden Bob Dole. Data dikumpulkan dari tujuh sejarawan kepresidenan, 106 penulis biografi presiden, dan pakar kepresidenan lainnya. Presiden sukses ternyata cerdas, agresif, kompeten, mementingkan hasil yang dicapai, dan berpikir positif. Tetapi presiden sukses ternyata juga mudah tersinggung dan belum tentu jujur. Ingat Bill Clinton?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini