Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanam padi di bukit Jeram
Tanam keduduk atas batu
Macam mana hati tak geram
Menengok tetek menolak baju?
BaRIS-baris bait dari Alam Pantun Melayu: Studies on the Malay Pantun itu digolongkan oleh penulisnya, Francois-Rene Dailee, sebagai jenis pantun yang dua baris pertamanya, "pembayang", tidak langsung berhubungan dengan "maksud", yaitu dua baris terakhirnya. Ini serupa dengan yang sedang kita alami akhir-akhir ini: apa hubungannya antara buah dada dan Pasal 282 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana?
Agaknya, kapan tepatnya sebuah gambar menjadi sebuah kejahatan susila dan kapan iaseperti kata N. Riantiarno, Pemimpin Redaksi Matramenjadi karya seni bukanlah perkara mudah dan tak bisa hanya diukur dengan seberapa jauh keterbukaan (dalam arti sebenarnya) tubuh manusia dihadirkan.
Dan itu telah lama ada di khazanah kita, dari perwujudan Loro Jonggrang hingga lukisan Nude karya Affandi. Atau coba simak tulisan pengantar dua karya patung keramik F. Widayanto oleh Sindhunata: "...keindahan sepasang buah dada yang kerap ditonjolkan oleh model seperti Tyra Banks terlihat dalam golekan yang kewalahan menahan buah dadanya, tepat bila ia kemalu-maluan berkata kemben isun mudun . Rambut golekan itu panjang terurai. Hanya separuh kain menutupi tubuhnya. Betapa segar dia, ia baru mandi, bar adus." Sedangkan gambaran sensualitas tubuh Rara Mendut yang ditembangkan bait 92 hingga 95 dandanggula dalam kitab Pranacitra (babon Surakarta, Balai Pustaka, 1956) dengan luwes menggambarkan betapa naik-turunnya gelombang payudara remaja "wong cilik" itu sempat mengguncangkan Tumenggung Wiraguna dan semua penjuru mata angin Mataram.
Bisa lebih nakal lagi, Mendut yang sensual nan licin adalah Mendut versi Romo Mangunwijaya yang rajin melinting dan mengulum lisong itu.
Bilamana menerbitkan berahi menjadi sebuah upaya yang mengundang bahaya bagi model dan fotografer, bahkan menyeret pemimpin redaksi dan bisa-bisa juga penerbitnya yang tidak mencantumkan "isi di luar tanggung jawab penerbit," risiko tinggi bisa dialami oleh Mpu Kanwa, yang dalam Kekawin Arjunawiwaha (disertasi I. Kuntara Wiryamartama, Duta Wacana University Press, 1990) pupuh II dan III menggambarkan bagaimana para bidadari berupaya keras membangkitkan berahi saat Arjuna bertapa. Beragam teknik dicoba, dari menyapukan wewangian kesturi dan bedak gemerlap di dada hingga menampilkan gairah di ujung mata. Alih-alih menggoda Arjuna, mereka malah terjangkit asmara dan berahi yang meluap-luap: "...banyak tingkah mereka meruwat brata Panduputra. Pergilah matahari, bulan pun menggantikannya...."
Bentuk penghargaan terhadap sensualitas dan keindahan jasmani telah hadir sejak awal sejarah manusia dan tak bisa dimungkiri, tidak juga dengan menghakiminya sebagai obyek seksualitas dari masyarakat patriarkat semata. Mengamati patung-patung dewi kesuburan yang ditemukan di lembah Sungai Ephrates dan Tigris, dengan torso yang begitu menggelembung hingga nyaris meniadakan kepala dan kaki, benarkah perempuan hanya menjadi obyek dan bukannya subyek yang mengundang kekaguman? Ada semacam kebanggaan dari perempuan sendiri, atau mungkin lebih tepat bila dikatakan: merayakan sensualitas sebagai bagian dari daur kehidupan perempuan.
Harus dibedakan antara pornografi sebagai upaya menjajakan kecabulan dan erotika yang merayakan sensualitas. Timur bahkan lebih awal dalam eksplorasi erotika tersebut dibandingkan dengan Barat, baik secara visual maupun dalam literatur. Mungkin tak perlu begitu terinci seperti Kama Sutra atau seks manual dari Cina yang kini sering diterbitkan lagi, tapi cukup dengan mengamati garis akar rambut di leher jenjang para geisha karya cukilan kayu Suzuki Harunobu di masa Shogun Tokugawa, Jepang, misalnya.
Bagi Anda yang ingin tahu apa padanannya kini, tak perlu jauh-jauh menoleh ke masa Paku Buwono V, saat lahir karya-karya erotis seperti Serat Centhini. Begitu banyak gambaran sensualitas modern yang bisa memperkaya indra kita. Orang boleh tak setuju, tapi bagi saya, Kuantar ke Gerbang, kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno karya Ramadhan K.H. (Sinar Harapan, 1981), terasa menyentuh sensualitas perempuan. Dengan cerdik, dari awal telah ditancapkan gambaran visual Inggit yang ada di ingatan Bung Karno (begitu penuturannya kepada Inggit): "Senyum yang menyilaukan mata. Ia berdiri di pintu masuk. Sinar setengah gelap. Bentuk badannya tampak jelas dikelilingi cahaya lampu dari belakang...."
Anda bisa juga menoleh ke cerpen Asmaradana karya Danarto, 1971, atau yang lebih dekat, Karnaval I, dari Seno Gumira Ajidarma, 1999, yang menjadikannya memiliki dimensi tak hanya linear bak alur sinetron, tapi juga membangkitkan imaji-imaji visual yang kayasuatu hal yang selalu dituntut oleh manusia dewasa yang sehat jasmani dan rohani dan tidak munafik.
Akhirnya, apa sebenarnya pornografi itu? The Advanced Learner's Dictionary of Current English, Oxford, hanya mendefinisikannya sebagai penggambaran subyek-subyek cabul, terutama kelainan seksual, dalam tulisan dan gambar. Nah, kini jadi jelas sudah, di luar itu, tak boleh gegabah menyebutnya. Mari kita tutup, sekali lagi, dengan pantun Melayu:
Anak ruan tidak terluang
Benang sutera di dalam buluh
Hendak buang tidak terbuang
Sudah mesra di dalam tubuh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo