JIKA kesusastraan Persia hanyalah Ommar Khayyam, orang layak
terkejut dengan segala yang terjadi di Iran di tahun 1979. Tapi
Iran tak lagi dilanggil "Persia", dan menjelang kejadian yang
mengubah sejarah itu -- revolusi, kata orang -- ada sajak
seperti yang ditulis oleh Forugh Farrokhzad.
Seseorang datang
seseorang datang
seseorang yang bersama kita dihatinya
bersama kita dalam nafasnya,
bersama kita dalam suaranya.
Seseorang yang datang tak terelakkan
yang tak bisa diborgol dan dipenjarakan
seseorang yang tumbuh
dalam jubah tua Yahya
dan tumbuh terus saja tiap hari.
Ada suasana menunggu dalam sajak itu. Memang ada suasana
menunggu dalam pelbagai sajak yang dikumpulkan oleh Ahmad
Karimi-Hakkak dalam Anthology of Modern Persian Poetry
(terbitan Westview Press, Boulder, Colorado, AS). Seperti tulis
sebuah komentar: "Sajak-sajak itu hampir semuanya bicara lirih,
diucapkan dengan nafas tertahan, seakan tertunda, menjelang
terjadinya sesuatu pada detik berikutnya."
Pada waktu itu, tak jelas benar apa gerangan sesuatu pada detik
berikutnya itu. Mungkin itupun tak jelas bagi Forugh Farrokhzad
sendiri. Seperti termaktub dalam judul sajaknya, ia hanya
menantikan "seseorang yang tidak seperti siapa pun di antara
kita." Terasa ia berada di ambang kemustahilan. Sebab "seseorang
yang tidak seperti siapapun di antara kita" barangkali tak akan
pernah ada. Mana mungkin seseorang "tak bisa diborgol dan
dipenjarakan"? SAVAK ada di mana-mana, borgol serta penjara
senantiasa siap. Juga rasa apatis. Memang, kaum inteligensia
resah. Mahasiswa gaduh. Tapi sebelum 1979, yang paling lantang
adalah agaknya kata-kata seorang kapten dalam novel Donne
Raffat, The Caspian Circle. Dengan angkuh sang kapten
membentangkan filsafat realismenya yang dingin: "Sembilan
persepuluh dari dunia diperintah oleh orang-orang berseragam.
Sisanya diperintah oleh orang kaya, yang tak perlu memakai
seragam . . . Di mana ada pemerintahan oleh yang disebut kaum
inteligentsia? Di mana, coba? Sebutkan satu tempat, nanti aku
angkat telepon dan kusuruh tembak tokoh mereka."
Tak heran, bila seantero Iran membisu, tak membantah, ketakutan,
bingung bergemakah kata-kata itu? Ataukah suara itu sendiri
sebuah gema? Penyair Ahmad Shamlu pernah menulis tentang
sekelompok orang yang berdiri, "di batu jalan yang dingin . . .
di batas antara putus dan rasa lelah." Itulah Iran. Sekelompok
orang begitu banyak -- yang mencari "kebenaran yang mengerikan .
. . dalam dongengan."
Ternyata, kesusastraan Iran tak cuma rubayat lama. Kesusastraan
itu hidup dan jadi sebuah kesaksian. Juga sejenis ramal.
Revolusi 1979 terjadi, Shah jatuh, dan "seseorang yang tak bisa
diborgol dan dipenjarakan" datang.
Namun di situ juga muncul bahaya. Sebab "seseorang yang tak
seperti siapapun di antara kita" -- apakah itu Ayatullah
Khomeini, atau bukan -- tak akan bisa selalu "bersama kita".
Juru Selamat, dalam ukuran kecil atau besar, adalah satu tokoh,
satu pribadi. Rakyat dan pemerintahan sebaliknya terdiri dari
pelbagai ragam. Seorang "suci" bisa memilih jalan yang tunggal,
sebuah tubuh masyarakat terpaksa membuka diri untuk kompromi dan
variasi.
Mungkin itulah sebabnya di Iran kini tokoh seperti Ayahtullah
Shariat-Madari penting. Ia dengan bijaksana mencoba
menghindarkan konflik sengit menghadapi Khomeini -- seraya tak
selalu setuju kepadanya. Tapi senyumnya halus dan wajahnya
sejuk, dan ia seperti mengingatkan orang banyak: Ada kebenaran
yang mengerikan, ada kekhilafan yang mungkin terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini