Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sisa-sisa Mamberamo

Pesawat F-28 Garuda "mamberamo" menabrak pegunungan pertektekan, Tanah Karo, Sum-ut, dalam penerbangan dari Palembang ke Medan. Semua awak dan penumpang tewas. Sebab-musabab kecelakaan belum diketahui.(nas)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA hening meliputi Lorong Sukadamai, Medan, Minggu pagi kemarin. Tak lagi terdengar isak dan jerit tangis di antara ribuan yang hadir. Dan ketika Menteri Perhubungan Rusmin Nuryadin mengajak mengheningkan cipta, suasana tambah khidmat. Suara terompet mengalun. Dan di sana-sini beberapa orang menyeka mata. Itu sebagian dari upacara singkat pemakaman bersama korban pesawat F-28 Garuda "Mamberamo" yang Rabu petang pekan lalu menabrak pegunungan Pertektekan "adik" gunung Sibayak -- 2 km dari desa Raja Bernah -- Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara. "Mamberamo" terbang dari Palembang menuju Medan. Mereka terdiri dari 4 awak dan 57 penumpang, juga seorang bayi yang masih dalam kandungan. Lorong Sukadamai terletak 1,3 km dari bandar udara Polonia, di tepi Sungai Deli. Sehari sebelumnya, jenasah disemayamkan di hangar Deli Aero Club, Kelapa Sawit, sebelah timur Polonia. Jenasah dalam 62 peti mati itu diangkut dengan 7 truk dari desa Raja Bernah. Sabtu sore sampai di Polonia, para keluarga korban menyambutnya dengan ratap tangis dan jeritan. Keluarga almarhum Kapten Pilot AE Lontoh mendapat kesempatan pertama memasuki ruangan tempat peti jenasah disemayamkan. Kemudian menyusul keluarga almarhum Co-Pilot Nurcahyo, keluarga almarhumah pramugari Netty Meryati Itauli Simatupang, lalu keluarga almarhumah pramugari Rafflessiawati Zen. Setelah itu baru keluarga para penumpang. Tapi semua jenasah sudah sulit dikenali. Hampir semua tubuh korban hancur. Kepala dan bagian tubuh lainnya lepas. Hanya tubuh 2 orang anak kecil saja yang bisa disebut utuh. Tim penolong SAR amat sulit mengumpulkan potongan-potongan itu. Bukan saja karena gunung Sibayak belum pernah dijelajahi manusia, cuaca buruk dan hujan lebat juga menambah sulitnya pencarian. Hanya satu korban yang mudah dikumpulkan bagian-bagian tubuhnya, karena almarhum kebetulan berkulit putih. Ia adalah Mayor Vin Noonan, 39 tahun, seorang perwira militer Australia yang bertugas di sini sejak 18 bulan lalu. Meskipun black box sudah ditemukan, tapi sebab-musabab bencana ini belum diketahui secara pasti. Alat yang terletak di bagian ekor pesawat ini adalah perekam percakapan antara pilot dengan petugas menara pengawas di bandar udara, beberapa saat sebelum mendarat. Dari percakapan itulah, setelah dianalisa, bisa diketahui sebab-musahab kecelakaan udara. Maka timbul berbagai pendapat. Mungkinkah pesawat salah arah? Atau barangkali "ada apa-apa" sebelum membentur gunung? Atau peralatan navigasi di Polonia tidak berfungsi baik? Perkiraan pertama memang benar. "Mamberamo" ternyata "nyelonong" 5 derajat dari jalur penerbangan yang biasa dilahi antara Palembang-Medan. Menurut Pangkodau I Marsekal Pertama Ibnu Subroto, hal itu juga dikuatkan oleh laporan seorang anggota Polri yang pada jam 18.25 melihat "Mamberamo" melintasi Pematang Siantar. Barangkali pesawat berusaha ke luar dari gumpalan awan dan cuaca buruk. "Cuaca sebelah pantai timur waktu itu baik, tapi di pegunungan memang jelek," kata Rusmin Nuryadin. Di jalur naas itulah, menurut Rusmin, merupakan pertemuan antara arus angin hangat dan dingin hingga menimbulkan awan tebal. Ketika melintasi jalur tersebut, antara Pekan Baru -- Pematang Siantar, lewat pula pesawat Garuda DC-9 dari Jakarta di sebelah timur -- jalur yang benar -- juga menuju Medan. Kedua pilot bahkan sempat saling kontak. Angin kencang juga bisa mempengaruhi F-28 yang saat itu terbang dengan kecepatan 320 km per jam, pada ketinggian 6.000 kaki. Sebelumnya, pada ketinggian 11.000 kaki, baik pilot F-28 maupun DC-9 sama-sama minta izin petugas menara pengawas Polonia untuk turun sampai ketinggian 9.000, 8.000 dan 7.000 kaki. Karena dihadang awan tebal, "Mamberamo" minta izin lagi turun sampai 6.000 kaki. Ketika itu tepat di atas Siantar. Tapi sebelum membentur gunung, penduduk Medan dan Brastagi melaporkan mendengar suara mesin "Mamberamo" seperti motor berbusi kotor. Dan sebelum terdengar ledakan di tebing gunung yang terjalnya 70 derajat itu, ada penduduk melihat api menyala di ekor pesawat. Terheran-heran Lontoh sendiri dikenal sebagai pilor senior dengan 7.000 jam terbang. Bahkan bahan bakar pesawat juga masih cukup untuk terbang ke Singapura atau Penang. "Masih cukup untuk 3 jam 24 menit lagi," kata Rusmin Nuryadin. Mungkinkah pesawat sudah dalam keadaan SOS sebelum meledak? Apalagi menurut seorang anggota Tim SAR, di antara kepingan mayat juga terdapat pelampung penolong atau life jacket yang seperti sudah terpakai. Tapi di Jakarta, Sekretaris Garuda RAJ Lumenta meragukannya. "Kalau sebelumnya terbakar, tentu pilot memberitahu dalam percakapan. Tapi ini tidak," katanya. Dan tentang pelampung, Lumenta juga meragukannya sebab seluruh isi pesawat sudah hancur hingga sulit diteliti. Yang jelas, percakapan antara Lontoh dan petugas menara pengawas Polonia terjadi jam 18.55. "Bagaimana Medan, bisa menerima pesawat untuk landas?" tanya Lontoh seperti diceritakan petugas di Polonia kepada TEMPO. "Bisa, tidak ada apa-apa," jawab sang petugas. Tapi selang 2 menit kemudian, Polonia kehilangan jejak. Bahkan sampai larut malam, kontak ke berbagai bandar udara hasilnya nol. Adakah navigasi di Polonia tidak beres? Menurut Dirjen Perhubungan Udara Kardono, radar di Medan memang belum berfungsi, "karena belum waktunya dipakai." Tapi Kardono yang segera akan menjabat Sekretaris Militer Presiden itu juga menambahkan, "tanpa radar pun seharusnya posisi pesawat dapat diketahui lewat hubungan radio." Hampir semua pejabat memang menyatakan, peralatan navigasi di Polonia cukup baik. Tapi kepada Sinar Harapan seorang pilot yang biasa terbang ke Medan menyatakan, bahwa hubungan radio antara pesawat dengan menara pengawas di sana tidak berjalan baik. Frekwensi 113,9 misalnya sudah rusak, sedang frekwensi 113,3 hanya untuk pagi dan siang saja. Ada cerita lain dari sebuah sumber TEMPO di Jakarta. Seorang pilot yang terbang ke Medan setelah musibah terheran-heran karena navigasi di Polonia kini mendadak jadi baik. Padahal sebelumnya, hubungan radio itu selalu tidak jelas, bahkan tak bisa kontak dalam jarak tempuh yang dilalui.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus