SUASANA hening meliputi Lorong Sukadamai, Medan, Minggu pagi
kemarin. Tak lagi terdengar isak dan jerit tangis di antara
ribuan yang hadir. Dan ketika Menteri Perhubungan Rusmin
Nuryadin mengajak mengheningkan cipta, suasana tambah khidmat.
Suara terompet mengalun. Dan di sana-sini beberapa orang menyeka
mata.
Itu sebagian dari upacara singkat pemakaman bersama korban
pesawat F-28 Garuda "Mamberamo" yang Rabu petang pekan lalu
menabrak pegunungan Pertektekan "adik" gunung Sibayak -- 2 km
dari desa Raja Bernah -- Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara.
"Mamberamo" terbang dari Palembang menuju Medan. Mereka terdiri
dari 4 awak dan 57 penumpang, juga seorang bayi yang masih dalam
kandungan. Lorong Sukadamai terletak 1,3 km dari bandar udara
Polonia, di tepi Sungai Deli.
Sehari sebelumnya, jenasah disemayamkan di hangar Deli Aero
Club, Kelapa Sawit, sebelah timur Polonia. Jenasah dalam 62 peti
mati itu diangkut dengan 7 truk dari desa Raja Bernah. Sabtu
sore sampai di Polonia, para keluarga korban menyambutnya dengan
ratap tangis dan jeritan.
Keluarga almarhum Kapten Pilot AE Lontoh mendapat kesempatan
pertama memasuki ruangan tempat peti jenasah disemayamkan.
Kemudian menyusul keluarga almarhum Co-Pilot Nurcahyo, keluarga
almarhumah pramugari Netty Meryati Itauli Simatupang, lalu
keluarga almarhumah pramugari Rafflessiawati Zen. Setelah itu
baru keluarga para penumpang. Tapi semua jenasah sudah sulit
dikenali.
Hampir semua tubuh korban hancur. Kepala dan bagian tubuh
lainnya lepas. Hanya tubuh 2 orang anak kecil saja yang bisa
disebut utuh. Tim penolong SAR amat sulit mengumpulkan
potongan-potongan itu. Bukan saja karena gunung Sibayak belum
pernah dijelajahi manusia, cuaca buruk dan hujan lebat juga
menambah sulitnya pencarian. Hanya satu korban yang mudah
dikumpulkan bagian-bagian tubuhnya, karena almarhum kebetulan
berkulit putih. Ia adalah Mayor Vin Noonan, 39 tahun, seorang
perwira militer Australia yang bertugas di sini sejak 18 bulan
lalu.
Meskipun black box sudah ditemukan, tapi sebab-musabab bencana
ini belum diketahui secara pasti. Alat yang terletak di bagian
ekor pesawat ini adalah perekam percakapan antara pilot dengan
petugas menara pengawas di bandar udara, beberapa saat sebelum
mendarat. Dari percakapan itulah, setelah dianalisa, bisa
diketahui sebab-musahab kecelakaan udara.
Maka timbul berbagai pendapat. Mungkinkah pesawat salah arah?
Atau barangkali "ada apa-apa" sebelum membentur gunung? Atau
peralatan navigasi di Polonia tidak berfungsi baik? Perkiraan
pertama memang benar. "Mamberamo" ternyata "nyelonong" 5
derajat dari jalur penerbangan yang biasa dilahi antara
Palembang-Medan.
Menurut Pangkodau I Marsekal Pertama Ibnu Subroto, hal itu juga
dikuatkan oleh laporan seorang anggota Polri yang pada jam 18.25
melihat "Mamberamo" melintasi Pematang Siantar.
Barangkali pesawat berusaha ke luar dari gumpalan awan dan cuaca
buruk. "Cuaca sebelah pantai timur waktu itu baik, tapi di
pegunungan memang jelek," kata Rusmin Nuryadin.
Di jalur naas itulah, menurut Rusmin, merupakan pertemuan antara
arus angin hangat dan dingin hingga menimbulkan awan tebal.
Ketika melintasi jalur tersebut, antara Pekan Baru -- Pematang
Siantar, lewat pula pesawat Garuda DC-9 dari Jakarta di sebelah
timur -- jalur yang benar -- juga menuju Medan. Kedua pilot
bahkan sempat saling kontak.
Angin kencang juga bisa mempengaruhi F-28 yang saat itu terbang
dengan kecepatan 320 km per jam, pada ketinggian 6.000 kaki.
Sebelumnya, pada ketinggian 11.000 kaki, baik pilot F-28 maupun
DC-9 sama-sama minta izin petugas menara pengawas Polonia untuk
turun sampai ketinggian 9.000, 8.000 dan 7.000 kaki.
Karena dihadang awan tebal, "Mamberamo" minta izin lagi turun
sampai 6.000 kaki. Ketika itu tepat di atas Siantar. Tapi
sebelum membentur gunung, penduduk Medan dan Brastagi melaporkan
mendengar suara mesin "Mamberamo" seperti motor berbusi kotor.
Dan sebelum terdengar ledakan di tebing gunung yang terjalnya 70
derajat itu, ada penduduk melihat api menyala di ekor pesawat.
Terheran-heran
Lontoh sendiri dikenal sebagai pilor senior dengan 7.000 jam
terbang. Bahkan bahan bakar pesawat juga masih cukup untuk
terbang ke Singapura atau Penang. "Masih cukup untuk 3 jam 24
menit lagi," kata Rusmin Nuryadin. Mungkinkah pesawat sudah
dalam keadaan SOS sebelum meledak? Apalagi menurut seorang
anggota Tim SAR, di antara kepingan mayat juga terdapat
pelampung penolong atau life jacket yang seperti sudah terpakai.
Tapi di Jakarta, Sekretaris Garuda RAJ Lumenta meragukannya.
"Kalau sebelumnya terbakar, tentu pilot memberitahu dalam
percakapan. Tapi ini tidak," katanya. Dan tentang pelampung,
Lumenta juga meragukannya sebab seluruh isi pesawat sudah hancur
hingga sulit diteliti. Yang jelas, percakapan antara Lontoh dan
petugas menara pengawas Polonia terjadi jam 18.55.
"Bagaimana Medan, bisa menerima pesawat untuk landas?" tanya
Lontoh seperti diceritakan petugas di Polonia kepada TEMPO.
"Bisa, tidak ada apa-apa," jawab sang petugas. Tapi selang 2
menit kemudian, Polonia kehilangan jejak. Bahkan sampai larut
malam, kontak ke berbagai bandar udara hasilnya nol.
Adakah navigasi di Polonia tidak beres? Menurut Dirjen
Perhubungan Udara Kardono, radar di Medan memang belum
berfungsi, "karena belum waktunya dipakai." Tapi Kardono yang
segera akan menjabat Sekretaris Militer Presiden itu juga
menambahkan, "tanpa radar pun seharusnya posisi pesawat dapat
diketahui lewat hubungan radio."
Hampir semua pejabat memang menyatakan, peralatan navigasi di
Polonia cukup baik. Tapi kepada Sinar Harapan seorang pilot yang
biasa terbang ke Medan menyatakan, bahwa hubungan radio antara
pesawat dengan menara pengawas di sana tidak berjalan baik.
Frekwensi 113,9 misalnya sudah rusak, sedang frekwensi 113,3
hanya untuk pagi dan siang saja.
Ada cerita lain dari sebuah sumber TEMPO di Jakarta. Seorang
pilot yang terbang ke Medan setelah musibah terheran-heran
karena navigasi di Polonia kini mendadak jadi baik. Padahal
sebelumnya, hubungan radio itu selalu tidak jelas, bahkan tak
bisa kontak dalam jarak tempuh yang dilalui.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini