NASSER banyak membaca sejarah. Mohamed Heikal, pembantu dan
sahabatnya? punya cerita yang menarik tentang ini dalam Nasser,
The Cairo Documents yang ia tulis beberapa waktu setelah
pemimpin besar Mesir itu meninggal.
"Secara intens ia tertarik akan sejarah, tentang penyatuan
Jerman dan khususnya Revolusi Prancis. Novel-novel yang ia baca
tentang revolusi punya akibat yang jelas dalam tingkah lakunya
di kemudian hari. Ia begitu terkesan akan The Tale of Two Cities
dari kisahnya tentang teror yang menguasai Paris, hingga inilah
mungkin yang menyelamatkan rakyat Mesir dari banyak pertumpahan
darah setelah revolusi mereka sendiri, karena ini membuatnya
begitu sadar akan teror yang dapat menyertai semua revolusi."
Bila Heikal benar, beruntunglah Mesir. Beruntunglah Nasser.
Kisah The Tale of Two Cities dari Charles Dickens (yang kini
sudah diterjemahkan dalam bentuk sederhana untuk anak-anak
Indonesia) dengan hidup melukiskan dendam rakyat kecil Prancis
yang ditindas para bangsawannya. Kemarahan itu sah, nlpi betapa
bengisnya dendam itu setelah rcvolusi meledak.
Bila Heikal benar, Nasser tak ingin dendam itulah yang mewarnai
revolusi ketika Raja Faruk -- yang hidupnya itu berleha-leha di
bawah buaian kekuasaan kolonial Inggris -- di tahun 1952
berhasil ia gulingkan. Banyak di antara anggota Perwira Merdeka
yang melancarkan coup ingin agar sang Raja dibunuh. Tapi
sembilan jam lamanya Nasser berdebat mencoba meyakinkan bahwa
kematian Faruk tidak perlu, bahkan bisa berakibat buruk. "Dalam
semua bacaan sejarah saya," katanya kepada teman-temannya satu
gerakan, telah memperoleh pelajaran yang berkali-kali
pertumpahan darah membawa pertumpahan darah."
Faruk akhirnya tak jadi dibunuh. Ia dilepaskan pergi ke luar
negeri -- untuk akhirnya mati, setelah konon berkata setengah
bergurau setengah putus asa "Dari semua raja yang pernah ada,
tinggal hanya empat raja dalam kartu bidge ditambah satu dari
Inggris."
Baik juga raja yang jatuh masih bisa melucu: akan kelihatan
bahwa ia juga manusia. Sejarah dengan demikian akan lebih tidak
mengerikan. Tapi mungkinkah?
Revolusi Prancis memang begitu kaya akan pelajaran -- yang buruk
dan yang baik. Saint-Just, pemimpin dan pemikirnya, pada mulanya
menentang hukuman mati. Ia hanya menghendaki para pembunuh
diberi pakaian hitam sepanjang hidup mereka. Ia berbicara
tentang bagaimana mengerikannya menyiksa orang.
Tapi kenapa kemudian Raja dipancung dan Teror berkuasa? Mungkin
karena ia percaya: dialah pembawa kebaikan. "Sebuah revolusi
seperti revolusi kita bukanlah suatu pengadilan, tetapi suatu
hantaman petir kepada orangorang jahat," ia berkata. Dan yakin
kebajikannya secara mutlak, ia tak ingin melihat ada cacat di
sisinya. Ia menghardik, kemudian membasmi, mereka yang
menyimpang.
Albert Camus, dalam satu bagian terkenal dalam l' Homme Revolte,
berbicara tentang Prometheus yang ingin menolong manusia dari
penindasan dewa, sementara manusia lemah dan penakut dan harus
diatur. Maka Prometheus pun pada gilirannya menjadi guru yang
mengajar dan memerintah. Dan mereka yang meragukan katanya pada
gilirannya juga dilontarkan ke dalam padang pasir, diikat pada
karang, disajikan kepada burung nasar. Yang lain akan berbaris
seterusnya dalam gelap, di belakang sang guru yang sendirian dan
murung.
"Kesalahan revolusi masa kini ialah pertama-tama dijelaskan oleh
ketidaktahuan, atau salah pengertian yang sistematis, tentang
batas itu, yang nampaknya tak terpisahkan dari kodrat manusia."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini