Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEKERASAN yang dilakukan aparat kepolisian pada saat pembubaran demonstrasi warga Desa Air Bangis, Pasaman Barat, di Masjid Raya Sumatera Barat makin meneguhkan keterlibatan aparat dalam konflik agraria. Tindakan represif puluhan polisi di dalam masjid itu telah mencederai hak masyarakat untuk menyampaikan aspirasi secara damai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak Senin, 31 Juli lalu, ratusan warga Desa Air Bangis berdemonstrasi di Kantor Gubernur Sumatera Barat. Mereka menolak pembangunan kawasan industri kilang minyak kelapa sawit seluas 30 ribu hektare di Teluk Tapang. Masalahnya, sebagian lahan merupakan area penggunaan lain yang sudah digunakan untuk perkebunan dan dihuni 45 ribu warga sejak 1970-an. Bagian dari proyek strategis nasional itu akan menggusur rumah penduduk dengan alasan lahan yang mereka tempati milik negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski awalnya demo berjalan damai, konflik meletus pada Sabtu, 5 Agustus lalu. Pedemo sebenarnya berencana membubarkan diri setelah utusan mereka menemui Gubernur Mahyeldi Ansharullah pada hari itu. Tapi, di tengah pertemuan, polisi membubarkan paksa ratusan warga desa yang berkumpul di Masjid Raya. Polisi menuduh demonstrasi itu tak berizin dan mengganggu masyarakat sekitar masjid.
Peristiwa yang dialami warga Desa Air Bangis menambah panjang daftar konflik agraria yang disertai dengan kekerasan. Konsorsium Pembangunan Agraria mencatat ada 212 konflik yang meletus sepanjang 2022. Sebanyak 99 konflik di antaranya berada di sektor perkebunan. Sebagian besar konflik disertai dengan kekerasan oleh aparat. Selain di Desa Air Bangis, konflik meletus di Kampung Baru, Pematang Siantar, Sumatera Utara, dan Dusun Pematang Bedaro, Jambi, pada tahun ini.
Pada 2021, jumlah letupan konflik nyaris sama, yakni 207 peristiwa. Ini menandakan pemerintah pusat ataupun daerah belum mengubah kebijakan untuk menghadapi konflik agraria. Caranya selalu sama, yakni menggunakan tangan aparat untuk menghadapi rakyat. Modusnya pun hampir serupa, yaitu merebut lahan warga desa dengan alasan warga tak memiliki hak.
Masih tingginya jumlah konflik menjadi bukti reforma agraria masih sebatas angan-angan. Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah mencetuskan program reforma agraria pada 2015. Tapi program itu terlihat tak serius dijalankan. Hal ini terindikasi antara lain dari langkah Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria yang baru dilakukan tiga tahun berselang.
Baca artikel:
Belakangan, aroma politik di balik program reforma agraria malah lebih terasa. Jokowi mempertontonkan pembagian sertifikat tanah redistribusi kepada masyarakat pada 2018, atau sebelum pemilihan umum presiden. Ia terpilih kembali menjadi presiden pada 2019. Empat tahun kemudian, 300 sertifikat tanah di Bogor, Jawa Barat, malah bermasalah karena tercatat sebagai sitaan Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Pola represi untuk merespons konflik agraria menunjukkan pemerintah gagal mengelola investasi di sektor agraria tanpa menimbulkan masalah sosial. Investasi dibutuhkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dan negara. Tapi kehidupan sosial juga mesti diutamakan. Untuk proyek Pasaman Barat, misalnya, wajar masyarakat menaruh curiga karena pemerintah menggunakan 30 ribu hektare lahan untuk mendirikan kawasan industri kilang. Investasi memang penting, tapi jangan merugikan banyak orang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Angan-angan Reforma Agraria"