Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

KPK, Anjing Penjaga yang Menggigit Tuannya

Wahyudi Kumorotomo, Guru Besar Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

21 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
KPK, Anjing Penjaga yang Menggigit Tuannya/ilustrasi: Tempo/Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Possibly it wasn’t too important for the world to know that we couldn’t be bought, but I did want Al Capone and every gangster in the city to realize that there were still a few law enforcement agents who couldn’t be swerved from their duty.” (Eliot Ness, 1931)

 

Dengan kiprahnya selama dua dasawarsa, kisah Komisi Pemberantasan Korupsi barangkali diharapkan oleh masyarakat mirip Prohibition Unit di Kota Chicago, Amerika Serikat, yang dipimpin Eliot Ness, detektif yang konsisten melawan organisasi mafioso pimpinan Al Capone pada 1930-an. Seperti gambaran film The Untouchables, Eliot Ness adalah detektif yang bersih serta tak kenal takut membongkar jaringan mafia dan korupsi akut di Amerika ketika itu.

Sebagai pribadi, Ness hampir kehilangan segalanya; karier, bahkan keluarganya. Banyak teman sesama polisi dan hakim federal, mereka yang sudah disuap Al Capone, mencoba menggencet dan menghentikannya. Hanya karena integritas dan konsistensi Ness dan dukungan publik yang sudah muak terhadap korupsi, jaringan mafioso Al Capone bisa digulung. Yang mengkhawatirkan saat ini adalah kisah tentang KPK akan berakhir sedih karena kiprahnya yang mungkin segera berakhir dan hilang ditelan zaman seperti halnya satuan-satuan antikorupsi di Indonesia sebelumnya.

KPK lahir dengan semangat reformasi untuk mengganti rezim Orde Baru yang korup dan menindas. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah awal dari keinginan untuk memberantas kejahatan luar biasa yang tidak mungkin lagi mengandalkan institusi penegak hukum yang ada, yaitu polisi, jaksa, dan hakim.

Selanjutnya, draf Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disiapkan melalui surat Presiden Abdurrahman Wahid dan disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada era Presiden Megawati Soekarnoputri. Jadi KPK lahir dengan misi membentuk lembaga pemberantasan korupsi yang independen, kuat, profesional sekaligus tegas dan konsisten. Kini, setelah DPR bersama Presiden Joko Widodo bekerja cepat dengan mengesahkan revisi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, yang dalam banyak hal melemahkan KPK, apakah masih ada harapan itu?

 

Gigitan Anjing Penjaga

Yang bisa menjelaskan secara gamblang kontroversi mengenai KPK saat ini adalah kinerjanya sebagai lembaga yang melibas apa saja yang terkait dengan korupsi. Ibarat seekor anjing penjaga (watchdog) yang gesit dan garang dengan menggonggong dan menggigit setiap perilaku menyimpang, ternyata anjing ini mulai menggigit kaki tuannya yang boleh jadi juga punya perilaku menyimpang.

Para elite yang terlibat dalam korupsi politik pun menjadi waswas ketika KPK memperlambat manuver-manuver politik yang juga kental dengan transaksi korup. Tahun lalu, 434 pejabat pemerintah tersangkut masalah korupsi dan diperkarakan KPK. Pada 2014-2019, ada tiga pemimpin lembaga legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah) yang tersandung korupsi. Di daerah, sudah ada ribuan politikus yang terindikasi terlibat kasus korupsi. Satu hal yang jelas adalah bahwa sebagian dari elite politik, diakui atau tidak, mulai merasa bahwa KPK adalah institusi pengganggu.

Ketidaknyamanan para elite itu tampak dari berbagai kasus besar yang sedang ditangani KPK. Perkara korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik telah mengakibatkan dua anggota DPR dari Partai Golkar, Setya Novanto dan Markus Nari, masuk penjara. Surat dakwaan dalam perkara itu juga menyebut beberapa nama lain dari partai tersebut di DPR. Dalam kasus suap impor bawang putih, awal Agustus lalu KPK menangkap I Nyoman Dhamantra, anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Dalam gelar perkara, KPK menyebut beberapa nama politikus penting dan anggota DPR yang mungkin akan terseret kasus itu (Tempo, 9 September 2019).

Jadi upaya anggota DPR menyelesaikan revisi Undang-Undang KPK saat ini tidak terjadi secara kebetulan. Para elite politik menginginkan KPK tidak sembrono dalam melakukan penyidikan sehingga “tokoh-tokoh penting” dalam perumusan kebijakan politik tidak cacat di mata publik karena masuk catatan KPK—entah sebagai saksi, tersangka, entah terpidana yang harus menjalani hukuman badan. Logika anjing penjaga yang kemudian menggigit kaki tuannya sendiri sangat masuk akal.

 

Reposisi dan Pertarungan Oligarki

KPK adalah anak kandung reformasi sejak rezim Orde Baru tumbang. Namun keinginan sebagian elite politik menghentikan KPK mengkonfirmasi beberapa tesis tentang keraguan atas keberhasilan reformasi dan demokratisasi di Indonesia. Sebagai contoh, Hadiz dan Robison (2004) mengatakan banyak di antara elite politik Indonesia sebenarnya tidak memiliki tujuan yang murni untuk melakukan perubahan mendasar, tapi sekadar melakukan reposisi yang akan menyelamatkan kedudukan masing-masing dalam kekuasaan. Membelokkan KPK agar mengutamakan tindakan pencegahan dan bukan lagi penindakan sebenarnya merupakan upaya kooptasi atas lembaga yang berpotensi menuntaskan reformasi dengan pemberantasan korupsi.

Tesis menarik yang lain dikemukakan Jeffrey Winters (2013) tentang pertarungan oligarki di mana KPK sekadar merupakan instrumen dalam pertarungan tersebut. Tafsir teoretis ini agak mengerikan karena lembaga-lembaga seperti KPK, Kepolisian RI, kejaksaan, dan kehakiman di Indonesia dipandang bukan sebagai sistem hukum yang ideal. Akibatnya, KPK pun bisa dijadikan sebagai instrumen penekan dan ancaman dari oligarki politik untuk mencapai keseimbangan kekuasaan di antara para elite politik nasional. Ketika Dewan Pengawas KPK dibentuk dan difungsikan, bisa dibayangkan bahwa perangkat ini pun akan menjadi sumber pertarungan antarelite yang cukup alot.

Setelah DPR dan Presiden melangkahi tubir slippery-slope dengan mengesahkan revisi Undang-Undang KPK, banyak pihak khawatir bahwa metode pengungkapan korupsi oleh KPK akan makin prosedural, lembek, dan tidak efektif. Tapi pergulatan mengenai revisi Undang-Undang KPK tampaknya belum akan berakhir. Sejumlah elemen pegiat antikorupsi tengah bersiap mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas pengesahan revisi undang-undang yang hanya berlangsung 11 hari dan dihadiri seperlima anggota DPR tersebut.

Pertarungan mengenai status KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia masih akan berlanjut. Dari segi tata kelola penindakan, memang harus diakui bahwa ada banyak persoalan internal ataupun prosedural yang mesti dibenahi. Pola penindakan yang relatif tebang pilih, ketidakjelasan mekanisme operasi tangkap tangan, penyadapan yang tanpa laporan pertanggungjawaban lengkap, penyidikan yang berlarut-larut sehingga banyak kasus yang menggantung, biaya penyidikan dan penuntutan yang lebih besar ketimbang penyelamatan uang negara, mekanisme pembuatan keputusan kolegial yang kurang rapi, serta konflik antara pimpinan dan pegawai adalah sebagian dari persoalan internal yang harus diatasi.

Namun, seperti kasus di banyak negara, penyadapan adalah cara yang sangat ampuh membuktikan delik dan sekaligus mengadili pelaku korupsi. Meniadakan kewenangan penyadapan dan menghabisi berfungsinya operasi tangkap tangan sama saja dengan mengamputasi KPK. Juga perlu diingat bahwa prestasi Indonesia untuk menaikkan Indeks Persepsi Korupsi dari skor 17 pada 1999 menjadi 38 pada 2018 adalah karena faktor KPK. Dengan melemahkan KPK, para pemimpin bangsa harus siap dengan risiko terbunuhnya anjing penjaga yang sejauh ini sangat efektif di Indonesia.

Sangat ironis bahwa para elite justru tidak mempertimbangkan penguatan efektivitas pemberantasan korupsi melalui revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti diamanatkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 yang mengakui Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Antikorupsi. Seperti sudah dilansir di banyak forum, beberapa butir yang belum diakomodasi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi adalah korupsi di sektor korporasi, perdagangan pengaruh, memperkaya diri sendiri secara tidak sah, perampasan aset, hingga peningkatan kualitas pelayanan publik.

Dalam pertarungan wacana yang akan terus berlangsung, kita berharap bahwa Presiden dan para pemimpin politik paham atas konsekuensi pilihan yang telah diambil: tepatkah niat membunuh anjing penjaga yang efektif menjaga keamanan rumah kita hanya karena telah menggigit akibat perilaku buruk kita sendiri?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus