Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Suram

Dari dalam tong tempat ia tinggal, Diogenes memandang politik dan manusia dengan suram. Athena di abad ke-4 sebelum Masehi baginya adalah ruang keserakahan dan hipokrisi.

21 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suram

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada sebuah anekdot: sehabis sebuah peperangan, orang dari tepi Laut Hitam ini ditangkap pasukan Raja Philip dari Makedonia yang sedang menaklukkan wilayah sekitarnya. Ia dianggap mata-mata musuh. Filosof itu mengaku: “Aku memang memata-mataimu—mematai-matai nafsumu yang tak pernah terpuaskan.”

Dewa-dewa, katanya suatu ketika, memberi kita kehidupan yang cukup, tapi manusia melupakan itu dengan mencari hal-hal yang berlebih. Sang filosof gelandangan mengajarkan moral yang memujikan hidup dengan hasrat minimal, abrapxeia.

Ia sendiri tak ingin punya rumah. Di malam hari ia tidur dalam sebuah tong. Di siang hari ia berkeliling Athena, memprovokasi orang banyak untuk berpikir, dengan perilaku dan pertanyaan. Tak jarang seperti anjing menyalak ia cerca mereka yang ia anggap munafik.

Pernah dikisahkan, ia berjalan di bawah matahari membawa lentera ke mana-mana: “Aku mencari orang yang jujur.”

Jelas ia beranggapan: orang jujur tak ada. Diogenes, seperti kita baca dari sejarah filsafat Yunani, adalah salah seorang pelopor aliran yang disebut “Sinis”—kata yang bermula dari kata Yunani Kuno κυνικός (kynikos), yang berarti “mirip anjing”. Sebutan ini mungkin karena Sinisme dikenal dari diskusi di gimnasium Cynosarges (“tempat anjing putih”) di Athena.

Kini “sinis” berarti mencemooh apa saja, yang baik ataupun yang buruk. Kini pandangan yang kehilangan kepercayaan kepada manusia ini bahkan nyaring, bahkan menusuk.

Ada suatu masa ketika orang menaruh kepercayaan bahwa cita-cita menuju kebaikan bersama akan menggerakkan manusia. Cita-cita itu bernama “demokrasi”. Bisa dikatakan ia bertolak dari sebuah “modal sosial”: sikap saling mempercayai para warga masyarakat, sehingga dengan mudah bisa berembuk dan bekerja sama, hingga cita-cita tak hanya tinggal impian dalam isolasi.

Ada kalimat terkenal Reinhold Niebuhr dalam The Children of Light and the Children of Darkness: “Kemampuan manusia untuk adil membuat demokrasi mungkin; tapi kecenderungan manusia untuk tak adil membuat demokrasi diperlukan.”

Tapi masihkah kata-kata itu berlaku? Kini orang patut bertanya: benarkah manusia mampu berlaku adil? Sungguhkah demokrasi diperlukan ketika kita menyaksikan kebusukan manusia?

Mari lihat demokrasi di Hungaria. Seperti diceritakan majalah The Economist baru-baru ini, Fidesz, partai yang menang pemilu dan memegang tampuk pemerintahan, menggunakan kekuatannya di parlemen untuk mengendalikan pengadilan, menguasai bisnis, membeli media, dan memanipulasi aturan pemilihan umum. Perdana Menteri Viktor Orban tak perlu melanggar undang-undang; ia menggerakkan parlemen untuk mengubah undang-undang sesuai dengan kehendaknya. Tak perlu polisi membungkam musuh, cukup pemerintah menyuap media, atau menggertak dengan pajak. Demokrasi di Hungaria sungguh berkibar, tapi berkibar juga apa yang dilihat Diogenes dengan suram: keserakahan dan hipokrisi.

Juga di Indonesia. Setelah pemilihan 2019 yang jujur dan bersih, setelah harapan bangkit untuk masa yang lebih baik, ternyata para penyusun undang-undang (di parlemen dan di pemerintahan) bisa dengan enteng menyisihkan tuntutan keadilan yang disuarakan di masyarakat. Bahkan bisa mereka siapkan undang-undang yang mengancam hak dasar manusia.

Sejenis sinisme merayap. Di luar parlemen dan pemerintahan, orang sulit lagi percaya ada niat baik di lembaga-lembaga resmi. Di dalam parlemen dan kabinet, sinisme tumbuh dalam bentuk lain: para politikus dan pejabat tak percaya bahwa kerja politik untuk keadilan dan kemerdekaan bakal ada hasil dan manfaatnya.

The Economist benar, setidaknya sebagai peringatan: sinis-me adalah sebuah fenomena yang mencemaskan di awal abad ke-21. Dalam sebuah survei tahun lalu, hampir 70 persen orang Amerika dan Prancis mengatakan para politikus mereka korup alias busuk dan dusta. Lebih dari separuh pemilih di delapan negara di Eropa dan Amerika Utara menyatakan kepada The Pew Research Centre bahwa mereka tak puas dengan kerja demokrasi.

Demokrasi memang kisah ketidaksempurnaan manusia. Demokrasi menjadi sistem untuk mengantisipasinya. Sejarah menunjukkan politik dalam sebuah sistem parlementer tak bisa mencapai hal-hal yang muluk. Bahkan Bismarck, Perdana Menteri Prusia abad ke-19 yang menghalalkan cara dengan “darah dan besi”, adalah orang pertama yang mengakui politik itu kiat untuk hal-hal yang mungkin saja: “Politik ist die Kunst des Möglichen.” Proses politik, sebagai “the art of the possible”, selalu dibatasi kondisi yang nyata, selalu berkompromi, ada negosiasi, bahkan hipokrisi.

Tak berarti kita akan menirukan Diogenes. Bukan saja kita akan enggan tidur dalam tong tiap malam, tapi sinismenya, pandangannya yang suram tentang manusia, meletakkan rintangan sebelum orang bertindak.

Tapi ada kearifan didapat ketika “Si Anjing” menyalak: politikus bukanlah makhluk yang bisa selalu dipercaya sebelum dan sesudah pemilu. Meskipun kita bisa diam-diam berharap ada politik lain yang akan tumbuh, politik tanpa politikus—politik yang membawa lentera bukan untuk mencari orang yang jujur, tapi menjadi orang jujur.

GOENAWAN MOHAMAD

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus