Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyesalan Presiden Joko Widodo datang setelah industri tekstil dalam negeri sempoyongan. Keputusan membuka pintu impor tekstil dan produk tekstil yang diambil tanpa pertimbangan matang, dua tahun lalu, terbukti merugikan industri lokal.
Industri tekstil dalam negeri kini tergencet produk impor. Biang masalahnya adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017 tentang impor tekstil dan produk tekstil. Peraturan ini menyebabkan pedagang pemegang izin Angka Pengenal Importir Umum bisa mengimpor bahan baku hingga kain. Sebelumnya, izin impor hanya diberikan kepada produsen. Itu pun cuma buat impor bahan baku, seperti benang filamen dan serat, serta tidak boleh diperjualbelikan.
Melimpahnya produk impor dari hulu hingga hilir itu membuat pasar domestik kian tertekan. Ini tergambar dari neraca perdagangan tekstil dan produk tekstil. Meski neraca masih mencatatkan surplus, nilai impor terus naik, dari US$ 7,58 miliar pada 2017 menjadi US$ 8,68 miliar pada tahun berikutnya.
Angka itu bisa jadi lebih besar. Pada 2018, Kementerian Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 28, yang diperbarui dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 74, mengenai pelaksanaan pemeriksaan tata niaga impor di luar kawasan pabean. Aturan ini ditengarai menjadi modus untuk memasukkan tekstil dan produk tekstil lebih banyak dari luar negeri.
Niat awal membuat peraturan ini adalah untuk mengurangi waktu bongkar-muat di pelabuhan. Barang yang diimpor langsung diangkut ke gudang di luar kawasan pabean. Tapi lemahnya pemeriksaan dan pengawasan membuat pernyataan mandiri atas barang yang diimpor oleh importir menjadi celah untuk menyamarkan nilai impor sesungguhnya.
Karena barang impor membanjiri pasar dalam negeri, pabrik tekstil lokal yang kalah bersaing terpaksa menutup usahanya. Asosiasi Pertekstilan Indonesia menyatakan sudah ada 19 perusahaan menjerit, meski baru sembilan pabrik tekstil yang tercatat gulung tikar dan memutus hubungan kerja sekitar 2.000 pegawainya. Asosiasi Produsen Serat Sintetis dan Benang Filamen Indonesia menyebutkan, sejak Lebaran lalu, permintaan benang filamen dan serat melemah karena produsen lebih suka memilih barang impor.
Di tengah lesunya pertumbuhan industri, tekstil sebenarnya merupakan satu dari lima besar industri yang masih menggeliat. Pada semester pertama tahun ini, surplus perdagangan industri ini mencapai US$ 2,38 miliar. Sudah selayaknya pemerintah memberikan perhatian khusus supaya sektor ini bisa berkontribusi lebih besar terhadap neraca perdagangan.
Membangun industri dalam negeri bisa dimulai dengan mencabut Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64 Tahun 2017. Impor sebaiknya hanya untuk bahan baku yang tak ada di dalam negeri dan hanya bisa dilakukan oleh produsen. Pengawasan yang sungguh-sungguh di pusat logistik berikat dan di luar kawasan pabean juga penting untuk mencegah tipu-tipu oleh importir.
Jika itu tak dilakukan, jangan harap investor mau menanamkan uangnya di industri tekstil Indonesia. Industri yang tak kompetitif tak akan menarik investasi. Jangankan berkompetisi di dunia dengan Vietnam dan Bangladesh, yang masing-masing mengisi lebih dari empat persen pangsa pasar, bersaing di pasar domestik pun bakal kepayahan. Perang dagang Cina-Amerika Serikat semestinya bisa menjadi peluang untuk mengisi ceruk pasar di Amerika yang mulai ditinggalkan Cina—penguasa pasar tekstil dunia.
Tak ada gunanya menyesal bila tak diikuti tindakan koreksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo