Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Maksim Hukum

E. Fernando M. Manullang*

21 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Maksim Hukum

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Narasi hukum naik daun karena hujan peribahasa Latin yang dilontarkan dalam sidang sengketa pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi beberapa bulan lalu. Decak kagum menyeruak karena peribahasa-peribahasa Latin itu bak cahaya nan mencerahkan, yang menghapus rasa sebal akibat debat hukum yang bising dengan argumen pasal dan ayat. Hujan peribahasa itu diberi predikat: postulat atau asas.

Predikat postulat ini agak menyesatkan karena postulat sama dengan aksioma. Dalam aksioma, sesuatu itu dipercaya benar. Padahal peribahasa Latin itu belum tentu diterima benar adanya, seperti dikatakan George F. Wharton (1878). Contohnya peribahasa Latin yang mengatakan “orang dapat merusak properti orang”. Padahal itu bisa dilakukan apabila hukum membolehkannya.

Heikki E. S. Mattila (2006) mengatakan maksim hukum bahasa Latin di masa lampau disusun karena alasan ritmis belaka, seperti puisi, yang kerap malah meninggalkan tata bahasanya sendiri. Maksim hukum bahasa Latin pun kadang dipersepsikan sebagai dongeng para ahli hukum di masa lampau. Maka maksim hukum dalam riwayat asalnya itu digunakan sebagai alat retorika. Tujuannya untuk meyakinkan para pembacanya (juga pendengarnya).

Predikat asas pun dapat menyesatkan. Asas hukum memiliki daya ikat karena menjadi dasar keberadaan suatu aturan hukum yang mengikat. Contohnya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, ada maksim hukum nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali. Ini dapat diartikan secara longgar: tidak ada hukuman tanpa hukuman sebelumnya. Maksim ini diterjemahkan ke dalam asas hukum, asas legalitas. Asas ini mengandung dua konsekuensi lain, di samping tiada hukuman tanpa hukuman sebelumnya. Pertama, aturan pidana tidak berlaku surut. Kedua, tidak boleh ada analogi dalam tindak pidana yang tak disebutkan dalam undang-undang.

Masalahnya, secara historis, maksim hukum itu bukan sepenuhnya diambil dari sistem hukum Romawi—walau berbahasa Latin. Maksim hukum bahasa Latin dengan demikian bisa tidak terikat pada yurisdiksi tertentu karena tidak senantiasa terjelma dalam sistem hukum Romawi. Akibatnya, interpretasi maksim hukum itu bisa menjadi longgar. Karena itulah Mattila menunjukkan bahwa terjemahan maksim hukum berbahasa Latin di negara-negara yang berakar bahasa Latin, termasuk Polandia dan Jerman, bisa berbeda dengan terjemahan di negara-negara tradisi hukum Anglo-Saxons.

Beda makna itu mungkin terjadi karena bahasa hukum, apalagi yang tertuang dalam undang-undang, di masa kini diupayakan dibuat senetral mungkin, yang jelas berbeda dengan maksim hukum bahasa Latin yang metaforis. Ini karena undang-undang diharapkan mewakili kepentingan umum yang netral sifatnya, dan rumusannya diyakini pula mesti disusun secara ketat, sehingga tidak menimbulkan ragam tafsir yang menguntungkan pihak tertentu saja. Ambisi seperti itu tak akan terpenuhi dalam maksim hukum yang metaforis karena, dalam metafora, yang tinggal adalah kiasan yang seolah-olah serupa, yang pada akhirnya menjadi retorika belaka.

Berbicara tentang retorika, Aristoteles mengatakan ada dua agenda retorika. Pertama, sebagai sarana persuasi. Ini untuk meyakinkan pihak lain. Kedua, sebagai sarana publik. Ini untuk melahirkan diskursus. Apabila tidak menjadi asas hukum, dan menjadi retorika belaka, maksim hukum bahasa Latin itu akan memberikan sebuah kiasan yang seolah-olah mendukung suatu ide dengan cara persuasif. Apalagi kalau pada akhirnya hanya menjadi diskursus, maksim hukum itu hanya menjadi debat publik, yang belum tentu memiliki dampak hukum dalam pertimbangan atau putusan peradilan.Maksim hukum bahasa Latin memang menggoda sekali untuk dipakai jika demikian. Beberapa sasaran dapat digapai dalam sekali kayuh: memersuasi pihak lain dengan panduan tafsir untuk membangun suatu narasi. Padahal maksim hukum bahasa Latin tidak sama artinya dengan aksioma, postulat, atau asas. Mengumbarnya di hadapan peradilan dengan simplistis akan dapat menghasilkan suatu pendapat yang terhubung dengan etimologi lain kata latin (latere), yakni “berbohong”.

 

*) Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus