Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KRISIS berlangsung tepat terjadi saat ini, tulis Antonio Gramsci dari dalam penjara Kota Turin pada 1930. “Ketika yang lama tengah sekarat, sementara yang baru tak kunjung lahir. Pada masa peralihan (interregnum) seperti ini, berbagai bentuk gejala yang mengerikan (morbid symptoms) akan muncul di hadapan kita.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam penjara pengap rezim Mussolini itu, Gramsci merenungkan kegagalan faksi politiknya membendung fasisme. Menurut filsuf Marxis Italia ini, situasi krisis yang sedang berlangsung dan memuncak seperti Great Depression 1929 di Amerika Serikat merembet hingga Eropa dengan memunculkan gejala-gejala yang mengerikan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Realitas sejarah dunia dan Eropa yang direfleksikan Antonio Gramsci bisa menjadi pelajaran bagi kita untuk melihat kondisi politik-ekonomi hari-hari ini. Dalam konteks situasi ekonomi-politik tahun 1930, krisis sosial-ekonomi berkelindan membentuk suasana psikososial yang melemahkan legitimasi politik negara demokrasi liberal di berbagai negara Eropa.
Gramsci mengikat berbagai fenomena krisis tersebut sebagai penanda kekuasaan lama tengah sekarat. Di sisi lain, kekuatan progresif sebagai penyambung aspirasi kaum marginal tidak kunjung lahir. Sepertinya krisis tidak dengan serta-merta membawa harapan munculnya kekuatan demokratik yang mengusung perubahan. Krisis hanya melahirkan fase peralihan yang di dalamnya tertanam gejala-gejala mengerikan, seperti runtuhnya demokrasi, teror rasialisme, dan tunduknya otoritas politik.
Di masa kini, di Indonesia, transisi kepemimpinan Joko Widodo menuju Prabowo Subianto ditandai oleh tampilnya corak kekuasaan despotik baru. Ketika tatanan demokrasi setelah otoritarianisme sekarat, kekuatan progresif baru untuk merehabilitasi politik demokrasi tidak kunjung bangkit.
Tanpa kita sadari, gejala yang mengerikan itu telah berlangsung cukup panjang. Dari pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, pemasungan hak-hak pekerja dalam Undang-Undang Cipta Kerja, usaha memperpanjang masa jabatan presiden, hingga intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi untuk melahirkan dinasti politik Jokowi.
Apabila 20 Oktober 2024 sebagai ukuran, kondisi morbid symptoms agaknya belum akan berakhir. Gejalanya adalah kembali muncul dwifungsi ABRI terkait dengan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang membuka ruang masuknya militer dalam jabatan-jabatan sipil, suara-suara dominan elite yang menganggap oposisi tak sesuai dengan budaya Indonesia, hingga ekonomi ekstraktif yang dilindungi negara.
Indikasi keberlanjutan kebijakan dari satu rezim ke rezim lain tidak selalu berarti baik. Rencana Prabowo melanjutkan proyek Jokowi membuka 3 juta hektare sawah di Merauke, Papua, akan memicu deforestasi dan degradasi lahan yang memperparah dampak perubahan iklim. Proyek ini juga berpotensi melanggar hak hidup warga Papua dan masyarakat adat. Apalagi memakai tentara lewat pembentukan lima batalion infanteri.
Kita pantas khawatir, alih-alih membawa kedamaian, suasana konflik itu akan makin jauh dari rekonsiliasi secara damai dan sejalan dengan nilai-nilai hak asasi manusia, ketika perangkat represi dikedepankan. Kerusakan berjalan seiring dengan pelemahan-pelemahan demokrasi dan serangan terhadap tegaknya supremasi hukum yang belum ada tanda akan berakhir.
Semua persoalan yang berlangsung di fase transisi ini bekerja dalam situasi mendung ekonomi. Di tengah harapan megah Indonesia Emas 2045, ancaman jebakan middle-income trap ketika merongrong pembangunan ekonomi terancam gagal mengangkat kemakmuran.
Di tengah angka investasi yang naik, Indonesia malah tersuruk deindustrialisasi dini akibat investasi itu tak diserap menjadi inovasi dan pertumbuhan ekonomi baru. Akibatnya, angka putus kerja melonjak, jumlah kelas menengah turun, dan sektor informal menjadi andalan mata pencarian baru. Kelas baru prekariat tumbuh dalam ketidakpastian masa depan. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah hanya dinikmati 1 persen lapisan kelas atas akibat ekonomi bertumpu pada teknologi ekstraktif.
Rangkaian krisis itu serangkai dengan menguatnya despotisme baru yang membuat krisis makin dalam. Ketidakpastian menyambung hidup dalam turbulensi ekonomi yang keras serta tersumbatnya suara dan partisipasi politik yang sehat akan memicu krisis psikososial: kepanikan, frustrasi, dan hilangnya kehormatan akibat ketidakpastian masa depan.
Jürgen Habermas, filsuf Jerman, pada 1973 menulis Legitimation Crisis yang penting kita refleksikan ulang. Bagi Habermas, krisis legitimasi berlangsung dalam tiga arena, yakni sistem ekonomi, politik, dan budaya. Krisis legitimasi dalam arena politik terjadi pada krisis rasionalitas. Ketika institusi politik tidak bekerja sebagai sumber gagasan, ia mendorong proses politik dalam kebanalan demokrasi. Krisis legitimasi ekonomi terjadi ketika aktivitas kerja dalam proses produksi berfokus hanya pada profit dari perputaran kapital tanpa diikuti kemakmuran bagi mayoritas pekerja ekonomi. Sementara itu, krisis budaya berlangsung ketika warga negara kehilangan motivasi akibat tekanan sistem politik dan ekonomi dalam mengartikulasikan akal sehat di ruang publik.
Fenomena morbid symptoms yang bersanding dengan krisis legitimasi ini tidak serta-merta menutup pintu harapan yang lebih baik dan tampilnya pesimisme. Penglihatan kritis terhadap suasana muram yang akan kita hadapi ini tetap menyisakan suatu harapan, yakni bangkitnya anak muda yang berkata tidak terhadap feodalisme politik. Harapan ini penting jika berjumpa dengan kesadaran kritis bahwa transisi dan transaksi kekuasaan hari-hari ini menunjukkan negara kita tak sedang baik-baik saja.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo