ZAIM SAIDI MESKI bermisi serupa, Toshiki Kaifu dan Jan Pronk ternyata tak sama. Waktu berkunjung ke sini, Pronk dengan senang hati memenuhi undangan sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) -- yang menamakan dirinya Infight -- untuk berdialog. Sebaliknya, Kaifu menolak permintaan yang sama. Menurut penjelasan resmi Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, penolakan itu karena ketatnya jadwal Kaifu. Alasan lainnya: Pemerintah Jepang tidak mau berurusan dengan isu-isu politik. Politik? Tidak begitu jelas maksudnya. Adakah soal pembangunan yang terpisah dari masalah hak asasi dan atau politik? Tapi, ya, sudahlah. Meski Pronk dan Kaifu berbeda, peristiwa ini sangat menarik diamati. Sebab, akhir-akhir ini LSM kita sering jadi buah bibir. Semua itu bermula setahun lalu, saat sejumlah LSM (yang tergabung dalam INGI) diisukan "menjelekkan" bangsa sendiri di negeri orang. Tentu, ada hikmahnya. Masyarakat makin paham: selain IGGI (kelompok pemerintah) juga ada INGI (unsur-unsur di luar itu -- LSM) yang concerned atas pembangunan kita. Bukankah ini sebuah fenomena baru? Terbangunnya suatu aliansi internasional anggota masyarakat biasa (people-to-people linkage) yang mempertanyakan berbagai soal pada skala global. Jaringan antar-LSM di seluruh dunia saat ini memang ribuan jumlahnya. Mitra yang terlibat tentu sulit dihitung lagi. Ada jaringan yang menggeluti isu-isu tertentu, misalnya hutan tropis, pestisida, obat-obatan, atau perdagangan limbah beracun. Ada yang lebih umum sifatnya, misalnya soal konsumen, lingkungan hidup, atau hak asasi. Antarjaringan ini, sangat lazim, lalu membentuk jaringan baru yang lebih besar. Lewat multinasionalisasi gerakan LSM inilah kekuatan masyarakat terakumulasi dalam lobi-lobi yang lebih patut diperhitungkan. Jalur aliansi antara LSM di Merauke atau Amazon, misalnya, dan yang ada di pusat-pusat lobi di Washington D.C., Tokyo, Paris, atau Genewa, sangat jelas. Di banyak negara, pada aras lokal, berbagai LSM bahkan telah bermetamorfosa, menjadi partai-partai politik (Green Party). Adakah sesuatu yang telah mereka capai? Lumayan banyak. Salah satu kemenangan terbesar yang dapat dikemukakan adalah berhasilnya upaya "penghijauan" Bank Dunia. Setelah terus didesak dan dikecam oleh LSM dari seluruh penjuru dunia, lembaga ini mau melakukan reformasi. Pada Mei 1987, Presiden Bank Dunia, Barber Conable, membentuk Departemen Lingkungan, dengan staf-staf profesional di setiap daerah operasionalnya. Syarat kelayakan proyek-proyek yang diajukan ke Bank Dunia pun bertambah. Tidak saja secara ekonomis dan teknis, tapi juga harus memperhitungkan dampaknya secara sosial dan ekologis. Keterlibatan LSM pun dalam soal ini makin diakui. Pada tingkat yang lebih teknis, kelahiran berbagai tatakrama (code of conduct) dari badan-badan PBB seperti WHO atau FAO -- misalnya etika pemasaran susu formula, pestisida, atau obat-obatan, dan pengoperasian perusahaan multinasional -- dipacu dan diwarnai suara LSM. Begitu pula dalam berbagai perundingan GATT. Hengkangnya Scott Paper dari Irian Jaya tempo hari adalah contoh lain dalam bentuk yang berbeda. Jadi, kalau kedatangan Kaifu ke Indonesia saat ini ada yang mempersoalkan, tampaknya memang lagi jatuh gilirannya. Di negerinya, beleid bantuan internasional Pemerintah Jepang lewat ODA-nya (Official Development Assistance) -- juga mulai banyak dikritik masyarakatnya sendiri. Ada LSM yang spesial "mengawasi" penyaluran ODA ini, seperti yang dilakukan kelompok REAL (Reconsider Aid! Citizens' League) yang berpusat di Tokyo. Bahkan persatuan pengacara se-Jepang pun (Japan Federation of Bar Association), dalam simposiumnya Maret lalu, ikut mengecam. Pesan pembangunan (develompent) dan kemanusiaan (humanitarian) ODA Jepang dinilai cuma retorika belaka, di balik berbagai tujuan ekonomis dan politik. Meski penyaluran ODA Jepang dalam dua tahun terakhir ini telah "diperbaiki". Sebagian ODA kini diberikan lewat LSM. Tentu, jumlahnya secuil, dan sangat tidak layak dibandingkan dengan jumlah keseluruhan. Di Indonesia, misalnya, mulai 1990 ini, setidaknya ada empat LSM yang mulai ketiban rezeki lewat program SSGA (Small-Scale Grant Assistance). Diet (Parlemen) maupun partai politik dan media di Jepang juga makin kritis menilai ODA. Maklum, di tahun fiskal 1990 ini, total ODA mencapai 1,45 trilyun yen. Artinya, setiap pembayar pajak di Jepang bakal ikut menanggung 11.800 yen (sekitar Rp 136.000). Keterlibatan LSM Jepang dalam berbagai jaringan internasional itu saja merupakan hal baru. Sebab, sebelumnya kecenderungan mereka sangat eksklusif. Barangkali LSM memang tengah memasuki generasi berikutnya: merambah era globalisasi dan kancah politik dunia. Dalam konteks ini, peranan LSM Indonesia dengan mudah dapat dipahami. Keterlibatan mereka dalam INGI atau Infight, misalnya, juga dalam berbagai jaringan internasional lain, adalah bagian dari proses di atas. Ide people-to-people linkage jelas telah mengikis batasan-batasan negara, ras, bangsa, atau agama. Bahkan perubahan di Eropa Timur pun, tidak mustahil, kental diwarnai ide yang sedang "ngetrend" ini. Tentu pada aras dan bobot yang sangat berbeda. Pertanyaannya adalah: apakah peran serupa dapat dilakukan sendiri di sini tanpa orang luar? Dan apakah ia bakal cukup berarti? Bukankah gerak LSM kita selama ini dinilai ada di pinggiran semata? Meminjam kata-kata Aswab Mahasin dari LP3ES: ia hanya bisa ke tengah, ketika situasi mendorongnya ke sana. Telah cukupkah situasi sekarang ini bagi LSM Indonesia untuk bergerak lebih ke tengah?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini