SEJAK Februari lalu, tak ada lagi libur Sabtu bagi siswa-siswi asing di Jakarta. Mereka berkejaran dengan waktu karena "wajib" libur enam pekan pada akhir Mei mendatang. Perubahan jadwal itu dilakukan semata-mata untuk menghindari bentrokan dengan jadwal kampanye pemilihan umum pada bulan Mei dan pemilu itu sendiri yang ditetapkan 7 Juni 1999.
Keputusan mempercepat liburan diambil atas kesepakatan antara pihak sekolah dan orang tua murid. "Karena semua siswa akan meninggalkan Jakarta," kata Penny Robertson O.A.M., Kepala Sekolah Australian International School (AIS). Rupanya, trauma akibat kerusuhan Mei, yang menyebabkan banyak ekspatriat meninggalkan Indonesia, masih mengharubirukan para orang tua itu.
Namun adanya upaya menghindari pemilu ternyata tak mampu menahan semua murid asing untuk tetap tinggal dan menyelesaikan sekolahnya di Indonesia. Sejak kerusuhan yang menandai jatuhnya Soeharto tahun silam, jumlah siswa di AIS, misalnya, merosot tajam. Sebelum insiden Mei, sekolah yang berlokasi di Pasarminggu, Jakarta Selatan, itu menampung 295 pelajar. Kini, jumlah muridnya tinggal 143 siswa atau menyusut lebih dari 50 persen.
Suasana serupa terjadi di Ecole International Francaise (EIF), sekolah yang menampung siswa Prancis dan negara-negara yang menerapkan bahasa Prancis. Dua tahun lalu, EIF memiliki 550 siswa, tapi sekarang tinggal 400 orang. Sekolah tampak lengang. "Kami kehilangan 10 orang teman," ujar Anna Viltrad, siswa Lycee (SMU) tahun terakhir.
Menurut Jean Marie Pinguet, Kepala Sekolah EIF, hengkangnya siswa ke negeri asal mereka juga disebabkan oleh krisis ekonomi. Katanya, para orang tua murid mengalami kesulitan membayar uang sekolah yang ditetapkan sebesar US$ 3.500 per tahun. Ternyata, gaji mereka dibayarkan dalam rupiah. Namun sebab utama tetaplah kondisi politik Indonesia yang berkesan semakin buruk saja.
Ketakutan yang sama menghantui murid yang bersekolah di Jakarta International School (JIS). Menurut pengamatan Tracy Dawnien, siswa SMU kelas 9 Kimia, keadaan di Jakarta sangat mencemaskan. Apalagi bila mendengar informasi mengenai demonstrasi. "Saya agak khawatir saat berada dalam perjalanan dari rumah menuju sekolah," katanya.
Keadaan yang jauh dari tenteram itu menyebabkan pemerintah Australia mengimbau warganya untuk segera meninggalkan Indonesia. "Kami terpaksa mematuhi. Pertimbangan ini semata-mata demi rasa aman warga negara mereka," ujar Steve Money, Direktur Pelayanan Umum dan Aktivitas Kebudayaan JIS.
Akibatnya, sekolah tua berusia setengah abad yang berlokasi di permukiman elite Pondok Indah, Jakarta Selatan, itu banyak kehilangan siswa. Dari jumlah siswa yang semula 3.200 orang, kini yang bertahan hanya 2.300 orang. Kelas, yang tadinya dipenuhi 26 siswa, saat ini tampak sepi karena hanya diisi 15 murid.
Bagi manajemen sekolah, hengkangnya siswa jelas mempengaruhi keuangan sekolah. Di AIS, misalnya, beberapa kegiatan ekstrakurikuler ditiadakan. Guru yang terpaksa "pulang kampung" hingga kini belum dicarikan penggantinya. Namun, menurut Penny Robertson, hal itu tak berarti mengurangi kualitas pengajaran akibat jumlah siswa yang berkurang.
Terlepas dari itu, untuk mengisi bangku kosong yang ditinggalkan siswa asing, AIS memanfaatkan kelas dan tenaga pengajarnya dengan membuka kursus bahasa, sekolah persiapan bagi siswa Indonesia yang ingin kuliah di Australia, serta sekolah luar biasa. Agar tak bertentangan dengan peraturan yang dikeluarkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengenai larangan sekolah asing bagi siswa Indonesia, sekolahnya dibedakan dengan AIS. Namanya Australian College (AC).
Sejak AC dioperasikan pada Januari silam, tak kurang dari 46 siswa Indonesia belajar di situ. Untuk kelas persiapan ke universitas, misalnya, bayarannya Rp 60 juta per tahun atau lebih murah sedikit dari SPP siswa asing yang tarifnya US$ 7.000. Pelajarannya disesuaikan dengan kurikulum Australia. "Sekolah ini tak akan berguna bagi siswa yang tak ingin melanjutkan studi ke universitas di Australia," kata Derek Robertson, pemimpin Australian College.
Di atas kertas, kekosongan ruang di sekolah asing tentu sangat disayangkan. Mubazir. Sedangkan minat siswa Indonesia untuk belajar ke luar negeri ternyata tak pernah surut. Lalu, mengapa ruang kosong itu tidak diisi saja oleh anak Indonesia yang mampu, misalnya? Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Indra Jati Sidi, juga berpikir ke arah itu. Ia bahkan menyarankan agar peraturan mengenai larangan sekolah asing bagi siswa Indonesia ditinjau kembali.
Ma'ruf Samudra, Ahmad Fuadi, Hani Pudjiarti, dan I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini