Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menata Kembali Peran Militer

Dengan dasar operasi militer selain perang, militer kembali terlibat dalam urusan sipil. Pelibatan militer secara berlebihan berbahaya bagi profesionalisme TNI.

2 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Opini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Reformasi Tentara Nasional Indonesia telah dimulai setelah 1998.

  • Namun, dengan dasar operasi militer selain perang, militer kembali terlibat dalam urusan sipil.

  • Pelibatan militer secara berlebihan berbahaya bagi profesionalisme TNI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Al Araf
Direktur Imparsial dan Pegiat IDeKa Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Reformasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) setelah 1998 telah menghasilkan beberapa capaian positif, seperti pencabutan doktrin Dwifungsi ABRI, pemisahan fungsi TNI-Polri, dan pelarangan militer untuk berpolitik. TNI diharapkan tak lagi terlibat dalam berbagai urusan sipil (sosial-politik) dan bisa berfokus untuk mengemban tugas dan fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara.

Namun dinamika peran militer belakangan ini justru memperlihatkan beberapa permasalahan. Dengan dasar operasi militer selain perang (OMSP), kini militer kembali terlibat dalam urusan sipil, seperti pelibatan TNI dalam program cetak sawah, pengawasan dana desa, hingga pengawasan harga pangan. Bahkan Kementerian Pertahanan berencana melakukan pendidikan militer di kampus-kampus. Pelibatan yang demikian dapat dinilai terlalu berlebihan, tidak jelas urgensi dan relevansinya, serta sudah melebar jauh dari konsep dasar OMSP. Apabila dibiarkan berlarut-larut, hal ini bisa berdampak negatif terhadap upaya pembangunan profesionalisme TNI.

Pelibatan OMSP perlu diperhatikan konteks dan proporsi pelibatannya. Pelibatan yang tidak proporsional dan tak kontekstual berbahaya bagi profesionalisme militer karena bisa memecah konsentrasi, pengaturan, pelatihan, dan persiapan militer terhadap pelaksanaan peran utamanya, yaitu menghadapi perang (Huntington, 1993). Pelibatan yang berlebihan juga bisa memicu bentuk-bentuk intervensi militer di ranah sipil, yang bisa menjadi preseden buruk bagi kehidupan demokrasi ataupun profesionalisme militer (Anwar, 2001)

Banyak negara demokrasi mengatur ketentuan OMSP ini secara ketat. Salah satu ciri utamanya adalah pengerahan OMSP dilakukan hanya dalam situasi krisis, yakni dalam situasi ketika kapasitas instansi sipil sudah tak lagi mampu menghadapi ancaman yang terjadi. Di sinilah pelibatan militer di dalam negeri perlu ditempatkan dalam paradigma opsi terakhir (last resort) dan bersifat situasional serta sementara.

Menurut Undang-Undang TNI, pelibatan militer dalam OMSP baru dapat dilakukan jika ada kebijakan dan keputusan politik negara, yakni kebijakan politik yang dirumuskan oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Masalahnya, pelibatan militer selama ini dilakukan tanpa didasari keputusan politik negara. Sebagian besar OMSP tidak punya landasan hukum yang jelas, seperti operasi militer dalam menangani konflik di Papua, operasi militer dalam mengatasi terorisme di Poso, dan keterlibatan militer dalam mengatasi pandemi Covid-19. Akibatnya, parameter pelibatan pun menjadi tidak jelas dan akuntabilitas operasi juga bermasalah.

Dalam beberapa kasus, pelibatan militer hanya didasarkan pada nota kesepahaman (MoU) antara TNI dan lembaga sipil. Imparsial mencatat ada kurang-lebih 40 MoU antara TNI dan berbagai instansi sipil. Pembentukan berbagai MoU ini sesungguhnya bertentangan dengan Undang-Undang TNI, karena seharusnya hanya bisa melalui keputusan presiden.

Masalah lain adalah pelibatan militer tersebut dilakukan secara tidak proporsional dan berlebihan, seperti keterlibatan militer dalam program cetak sawah. Pelibatan itu tidak relevan karena banyak kementerian yang memiliki kompetensi urusan pangan, seperti Kementerian Pertanian dan pemerintah daerah. Belum ada kondisi obyektif dalam persoalan pangan yang dapat menjadi justifikasi untuk melibatkan militer.

Dalam perkembangan terbaru, pemimpin sipil berkeinginan untuk melibatkan militer dalam menangani masalah terorisme di luar ataupun di dalam negeri. Komnas HAM menilai draf perpres pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme akan membahayakan kehidupan hak asasi manusia di Indonesia karena memberikan kewenangan yang sangat luas bagi TNI untuk mengatasi terorisme. Dikhawatirkan pelibatan TNI ini akan membuka ruang masuknya militer dalam penegakan hukum di Indonesia dengan dalih mengatasi terorisme.

Upaya menata peran militer dalam menjalankan tugas dan fungsinya sangat bergantung pada seberapa jauh kendali sipil terhadap militer. Dalam negara demokrasi, otoritas sipil diharapkan dapat membangun kontrol sipil yang demokratis dan menghindari politisasi militer untuk kepentingan sesaat rezim.

Maka, penguatan aktor politik sipil menjadi penting. Konsolidasi partai politik, lembaga legislatif, serta lembaga eksekutif merupakan conditio sine qua non untuk pembangunan sektor pertahanan yang demokratis (Mietzner, 2006). Otoritas sipil juga perlu segera menata kembali tugas-tugas OMSP secara proporsional dan kontekstual. Penataan ini bertujuan membangun TNI yang profesional sebagai alat pertahanan negara demi menjaga kedaulatan negara.

 

 

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus