AKHIR Desember 1949. Gencatan senjata menyusul penyerahan kedaulatan. Tapi pasukan Belanda di Sumatera Selatan masih melampiaskan dendamnya. Kecamatan Bayunglincir, 98 km dari Jambi, dlkepung dari tiga jurusan - Palembang, Jambi, Bengkulu - dan mereka hajar dengan bom dari udara. Pasukan TNI pimpinan Letnan Satu Lebai Hasan bertahan. Tapi akhirnya mereka menyingkir masuk hutan meninggalkan istri dan anak di Bayunglincir. Pasukan kocar-kacir, Lebai Hasan bersembunyi di sebuah parit ditemani wakilnya, Letnan Dua Musa Ismail, bersama empat anak buahnya yang kemudian meninggal karena malaria. Tinggallah mereka berdua. Dan sejak itu Lebai Hasan dan Musa Ismail tidak pernah muncul di kota - sampai ditemukan 16 November tahun lalu. Diduga, mereka bekas pejuang yang hilang, dan kini pulang kembah. Kedua orang tua yang kekurangan gizi dengan ingatan yang belum pulih itu kini dirawat di Rumah Sakit Jiwa Jambi. Tim peneliti yang dibentuk komandan Resort Militer 042 Garuda Putih, Kolonel R. Pramono, setelah bekerja sebulan menyimpulkan: mereka benar-benar bekas pejuang yang dulu bernama Lebai Hasan dan Musa Ismail. Tapi malang bagi Lebai Hasan. Sementara sanak keluarga Musa Ismail, 65, mengakuinya, beberapa keluarga Lebai Hasan, 67, meragukannya. Alasannya: Lebai tidak pandai mengaji, tidak tahu nama kedua orangtuanya dan jalan ke rumahnya, serta tidak bersunat. "Lebai Hasan dulu belajar agama sampai di Kedah, Malaya, dan pandai mengaji," tutur Guru Mansur, salah seorang adik Lebai Hasan, bekas anggota DPRD Provinsi Jambi. Tapi, menurut para dokter yang merawat kedua orang tua itu, daya ingat Lebai Hasan belum pulih "karena usia lanjut, terisolasi selama puluhan tahun, dan kekurangan gizi," sehingga mengaji pun ia lupa. Dan ia juga disunat karena ada bekas sayatan meskipun hampir tertutup. "Sunatan zaman dulu 'kan hanya dengan sembilu," kata dokter. "Saya tak ingat apa-apa lagi. Semua gelap," kata Lebai Hasan kepada Dedy Iskandar dari TEMPO ,yang menemuinya minggu lalu di kamar VIP Rumah Sakit Jiwa Jambi. Bertubuh tinggi (175 cm), Lebai berhidung mancung. Tubuhnya kurus. Giglnya tanggal semua, pandangan matanya lamur. Ia mengenakan kain sarung dan baju berkotak-kotak agak kumal. Musa Ismail, yang tingginya 165 cm, sudah dua tahun mengidap malaria. "Saya khawatir tidak bisa baik lagi," keluh Musa yang ingatannya mulai pulih. Menurut tim dokter, untuk memulihkan ingatan mereka dibutuhkan waktu sekitar tiga bulan. Meski begitu, ada beberapa hal yang masih mereka ingat. Misalnya ketika mereka berdagang hasil hutan sampai ke Palembang dan Musirawas. Selama berniaga itu, Lebai Hasan menggunakan nama samaran Jarib atau Awi, sedang Musa Ismail, Rachmat. Mereka juga mengaku ikut Pemilu 1977 dan 1982. Tapi kemudian masuk ke hutan lagi. Mereka memang sengaja menyembunyikan diri, takut ketahuan bekas kawan-kawan seperjuangan. "Kami terikat ikrar di tahun 1948: para pejuang lebih baik masuk hutan daripada tertangkap Belanda. Siapa keluar dari hutan dan masuk kota ditembak dengan 12 peluru," tutur Lebai Hasan. Kedua orang yang selama "hilang" sudah beristri lagi dan punya anak dengan suku Anak Dalam (Kubu), ditemukan secara kebetulan. Enam bulan lalu, Ramli, 68, veteran yang menjadi petugas keamanan PT Vetco (perusahaan patungan dengan Jepang yang mempunyai HPH di Spinton, Kecamatan Pauh, 320 km di selatan Jambi) mencurigai dua warga Kubu yang perilakunya lain. "lereka lebih bersih dan kalau berniaga selalu tawar-menawar. Tidak seperti kebiasaan orang Kubu," ujar Ramli, yang mengaku bekas anak buah Lebai Hasan. Untuk lebih meyakinkan, Ramli bercakap-cakap dengan mereka. Setelah itu ia menghubungi keluarga Musa Ismail. Ketika Syamsuddin, salah seorang saudara Musadatang ke Spinton, yakinlah ia bahwa Musa Ismail adalah kakaknya. Mula-mula Musa Ismail tidak mengaku. Tapi setelah diperlihatkan potret kedua orangtuanya, ia menangis. Melihat itu, konon Lebai Hasan mendesak agar temannya itu menceritakan keadaan sebenarnya. Setelah seminggu dibujuk, mereka bersedia dibawa ke Kodim 0420 Sarolangun Bansko. Kemudian. tim peneliti - yang terdiri dari para bekas teman seperjuangan mereka mencocokkan tanda-tanda fisik antara Lebai Hasan dan Musa Ismail yang asli dengan yang baru turun dari hutan. Pada Lebai Hasan, antara lain: pergelangan kaki kanan lebih kecil, dapat dipegang dengan ibu jari dan telunjuk. Pada Musa Ismail, antara Iain ada bekas luka sayatan di belakang telinganya. Musa juga mengaku pernah meepaskan tembakan tiga kali di rumah. Dan bekas tembakan itu ternyata masih ada di rumahnya, di Rantau Panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini