Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Pendidikan mengubah kebijakan soal penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS).
Transfer dana BOS langsung ke sekolah akan melancarkan penyaluran dana.
Kewajiban membelanjakannya secara daring justru tidak adil.
Ki Darmaningtyas
Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyaluran dan penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) selalu menarik perhatian masyarakat karena menyangkut duit puluhan triliun rupiah setiap tahun. Sejak diterapkan pertama kali pada tahun ajaran 2005/2006, isu yang selalu muncul adalah keterlambatan penyaluran dana tersebut ke sekolah-sekolah oleh pemerintah daerah dan adanya pungutan yang dilakukan dinas pendidikan. Keterlambatan tersebut dicurigai karena dana BOS sengaja ditahan di rekening pemerintah daerah untuk menghasilkan rente (bunga) yang dapat menjadi pemasukan ekstra. Adapun pungutan oleh dinas pendidikan dilakukan setelah dana BOS masuk ke rekening sekolah, kemudian sekolah diminta mentransfer ke rekening seseorang, yang rata-rata sebesar Rp 200-300 ribu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim mencoba menyiasati keterlambatan itu dengan menyalurkan dana BOS tidak melalui pemerintah daerah lagi, melainkan langsung ke rekening sekolah. Itu adalah suatu keputusan yang tepat dan patut diapresiasi. Usul penyaluran dana BOS langsung ke sekolah sebenarnya sudah muncul sejak awal, tapi tidak pernah direspons. Namun penyaluran dana langsung ke sekolah tersebut tidak secara otomatis memecahkan masalah pungutan oleh dinas pendidikan.
Menteri Nadiem mencoba mengatasi persoalan yang kedua ini dengan menerapkan kebijakan belanja dana BOS menggunakan Sistem Informasi Pengadaan di Sekolah (SIPLah). Sistem belanja non-tunai ini diharapkan dapat menciptakan transparansi penggunaan dana sehingga dapat meminimalkan tingkat penyelewengan. Dasar hukumnya adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa oleh Satuan Pendidikan dan Peraturan Menteri Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Reguler. Sebagai tindak lanjut dari kedua peraturan itu, dikeluarkanlah Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Satuan Pendidikan Melalui Sistem Informasi Pengadaan di Sekolah.
Lebih Fleksibel
Peraturan Menteri Tahun 2021 lebih mengatur teknis penyaluran dan penggunaan dana BOS reguler. Dana BOS itu dialokasikan untuk membantu kebutuhan belanja operasional semua peserta didik pada satuan pendidikan dasar dan menengah. Penerima dana BOS tahun ini bukan hanya pendidikan dasar (sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama), melainkan juga sekolah menengah atas, sekolah menengah atas luar biasa, dan sekolah menengah atas kejuruan. Perluasan ini sebagai bukti dari komitmen Presiden Jokowi untuk melaksanakan wajib belajar 12 tahun, meskipun secara resmi belum diumumkan.
Hal lain yang patut diapresiasi dari peraturan tersebut adalah adanya kelonggaran sampai 50 persen dana BOS dapat digunakan untuk membayar honorarium. Ini perubahan kebijakan dari sebelumnya yang dibatasi hingga 20 persen. Kebijakan yang lebih fleksibel itu amat menolong sekolah-sekolah swasta yang 75 persen tenaga guru ataupun administratifnya dibayar oleh yayasan. Ini juga menolong sekolah-sekolah negeri yang kekurangan guru dari kalangan aparat sipil negara sehingga harus merekrut guru-guru honorer. Selama ini, sekolah-sekolah tersebut mengalami kendala minimnya anggaran untuk membayar guru honorer, termasuk honor guru ekstrakurikuler.
Peraturan ini juga lebih “mengindonesia” karena besaran pemberian dana BOS tidak lagi sama rata untuk semua daerah seperti yang terjadi selama ini, melainkan disesuaikan dengan tingkat kemahalan suatu daerah. Jadi, dana BOS di Yogyakarta tentu berbeda dengan dana BOS di Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Harga barang-barang di Indonesia bagian timur itu jauh lebih mahal daripada di Jawa, tapi selama ini dana BOS yang diberikan sama, sehingga terasa tidak adil karena mereka yang jauh dari pusat justru harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan yang lebih sedikit.
Masalah Kebijakan
Hal yang perlu dicatat dari peraturan menteri yang baru ini adalah Pasal 11, yang menyatakan bahwa Menteri Pendidikan dapat memberikan rekomendasi untuk menunda atau menghentikan penyaluran dana BOS reguler bagi pemerintah daerah yang melanggar norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pendidikan. Pasal ini dapat merugikan murid, padahal Kementerian Pendidikan seharusnya memperjuangkan hak-hak murid, bukan justru merampas hak murid. Sanksi bagi pemerintah daerah sebaiknya dalam hal penundaan pembayaran dana alokasi umum atau dana alokasi khusus yang tidak ada hubungannya dengan dana BOS.
Selain itu, kewajiban sekolah untuk membelanjakan dana BOS melalui aplikasi SIPLah membuat pembelanjaan dana BOS tidak merdeka lagi. Kebijakan ini bertentangan dengan prinsip fleksibilitas dalam pengelolaan dana BOS. Tidak semua yang dibutuhkan oleh sekolah ada, misalnya, di pasar digital (marketplace).
Seiring dengan perkembangan teknologi, berbelanja melalui aplikasi daring ini merupakan suatu keniscayaan. Meski demikian, bila hal itu menjadi kewajiban, tidak semua orang dapat menerimanya karena masalahnya bukan semata-mata melek teknologi digital, tapi juga berkaitan dengan aspek pemerataan dan keadilan. Apakah sekolah akan berbelanja melalui aplikasi online atau belanja langsung di toko sebelah atau depan sekolah haruslah menjadi pilihan bagi sekolah tersebut, bukan wajib. Selama sifatnya pilihan, hal itu masih dapat diterima oleh akal sehat. Bila diwajibkan, ini jelas merupakan kebijakan yang tidak memerdekakan sekolah di tengah jargon “Merdeka Belajar”.
Agen Kapitalisme
Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 juga meminta kepala sekolah mengarahkan dan memfasilitasi para pelaku usaha, baik koperasi maupun usaha menengah, kecil, dan mikro, untuk berpartisipasi sebagai penyedia barang/jasa satuan pendidikan melalui aplikasi SIPLah. Mereka kemudian melaporkan kepada Kementerian Pendidikan mengenai jenis-jenis dana bantuan pendidikan dari pemerintah daerah yang dikelola satuan pendidikan agar dapat muncul dalam aplikasi SIPLah sebagai sumber dana pengadaan.
Hal ini mengesankan Kementerian Pendidikan telah menjadi agen kapitalisme melalui mekanisme pembelanjaan dana BOS. Fokus Kementerian seharusnya bagaimana agar dana BOS dapat meningkatkan akses dan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia, bukan justru mengambil peran yang seharusnya dijalankan Kementerian Perdagangan.
Indonesia amat luas serta beragam geografi, infrastruktur, dan budayanya. Berbelanja secara daring di perkotaan memang tidak ada kendala. Tapi, bagi sekolah di Kecamatan Tepus, Gunungkidul, Yogyakarta, saja, belanja secara daring justru akan lebih lama dan mahal. Belum lagi sekolah-sekolah yang ada di luar Jawa.
Lagi pula, keuntungan dari berbelanja secara daring itu akan mengalir ke atas, tidak menetes ke bawah. Keuntungannya juga hanya akan diteguk segelintir orang. Aspek ekonomi kerakyatan dan keadilan sosial tidak pernah masuk kalkulasi berbelanja secara daring. Penggunaan dana BOS yang totalnya mencapai Rp 52,5 triliun itu seharusnya menjadi daya ungkit bagi ekonomi di berbagai pelosok, termasuk toko-toko kecil yang berada di sekitar sekolah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo