Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANPA malu melanggar hukum dan etika, sejumlah pasangan calon kepala daerah yang disokong penguasa memobilisasi kepala desa untuk mengumpulkan suara. Praktik lancung yang merebak menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) ini serupa dengan pemilihan presiden 2024. Ketika itu, para kepala desa terang-terangan mendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mobilisasi itu kini lebih marak. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mencatat setidaknya ada 195 kasus dugaan pelanggaran netralitas kepala desa dalam pilkada 2024. Hal itu terjadi sejak awal masa kampanye hingga 28 Oktober 2024. Kasusnya tersebar di 25 provinsi, antara lain Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Modusnya bermacam-macam. Salah satunya menggelar acara berkedok silaturahmi dan konsolidasi organisasi yang melibatkan kepala desa. Di Semarang, Bawaslu berhasil membubarkan acara tersebut. Namun itu hanya satu dari sekian banyak pertemuan yang diduga sudah berlangsung dengan skala yang jauh lebih besar.
Tak dimungkiri, kepentingan politik kepala desa lebih dekat dengan kepentingan para calon kepala daerah. Ada faktor lain, yakni ancaman jerat hukum atau intimidasi bagi kepala desa bila berani menolak penggalangan suara untuk para calon yang menjadi perpanjangan tangan partai-partai yang tengah berkuasa. Kepala desa akhirnya membebek para elite politik.
Pengerahan kepala desa dalam pilkada tak lepas dari penunjukan para penjabat kepala daerah oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Proses penunjukan penjabat itu tidak transparan dan akuntabel, mengabaikan masukan masyarakat, serta menabrak sejumlah undang-undang. Wajar bila publik curiga para penjabat kepala daerah juga berperan sebagai "operator" penggalangan suara dalam pemilihan presiden lalu.
Sama seperti sebelum-sebelumnya, mobilisasi kepala desa minim sanksi. Kementerian Dalam Negeri seperti sengaja membiarkan praktik kotor tersebut terjadi. Padahal mobilisasi kepala desa melanggar Undang-Undang Pemilihan Umum. Pengerahan perangkat negara ini juga menabrak Undang-Undang Desa dan Peraturan Pemerintah tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Mendapat upah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, kepala desa dilarang berpolitik praktis serta memberikan dukungan atau membuat keputusan yang menguntungkan peserta pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah. Sanksinya adalah disiplin berat, bahkan bisa dipidana. Undang-Undang Desa bisa menjatuhkan sanksi pemecatan bagi kepala desa yang menjadi partisan.
Namun Bawaslu tidak pernah memberikan rekomendasi apa pun untuk menerapkan sanksi-sanksi tersebut. Yang terjadi adalah pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat malah menyetujui perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam menjadi delapan tahun. Bertambahnya masa jabatan kepala desa ditengarai sebagai imbalan atas "jasa" yang sudah mereka berikan, yakni memobilisasi suara dalam pemilihan presiden lalu. Sebelumnya, kepala desa juga ikut menyokong ide perpanjangan masa jabatan Joko Widodo sebagai presiden.
Sejak era Jokowi, politik tak lagi memakai etika sehingga kehilangan nilai-nilai. Konstitusi ditekuk demi melanggengkan kekuasaan. Maka tidak mengherankan bila para kepala desa juga tak malu dan tidak takut melanggar aturan. Sebab, penyalahgunaan kekuasaan oleh para elite dilakukan secara telanjang. Itulah salah satu warisan Jokowi untuk Indonesia.
Integritas penyelenggara pilkada patut kita pertanyakan. Kita tak akan mendapatkan kompetisi yang bermutu untuk menghasilkan pemimpin berkualitas di daerah bila kecurangan terus dibiarkan. Yang rugi adalah kita semua.