Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Edwin Partogi Pasaribu
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian Daerah Metro Jaya telah menangkap 11 tersangka pemalsuan sertifikat pelaut. Modus kejahatan mereka adalah meretas situs web Kementerian Perhubungan. Kasus ini terungkap dari pengembangan perkara tindak pidana perdagangan orang yang diawali peristiwa meloncatnya dua anak buah kapal (ABK) asal Indonesia dari kapal Lu Qing Yuan Yu ke laut di perairan Selat Malaka. Keduanya melompat dari kapal berbendera Cina itu karena tidak digaji serta mendapat perlakuan buruk dan kekerasan fisik dari kapten dan ABK asal Cina. Kisah tragis mereka tidak jauh berbeda dengan pelarungan jenazah ABK Indonesia dari kapal Long Xing 629 berbendera Cina pada Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemalsuan dokumen merupakan salah satu cara pelaku perdagangan orang untuk mempermudah para korban dipekerjakan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat, selama 2015 hingga Juli 2019, ada 122 korban perdagangan manusia yang dibekali dokumen palsu. Para korban dijanjikan pekerjaan yang legal, majikan yang baik, dan penghasilan yang cukup. Kenyataannya, mereka malah mendapat tempat istirahat yang tidak layak, penyekapan, kontrak kerja yang tidak jelas, ditelantarkan oleh agen, dan terjerat utang.
Dalam Laporan Tahunan Perdagangan Orang di Indonesia yang diterbitkan pemerintah Amerika Serikat, tercatat lebih dari 7.000 nelayan Indonesia setiap tahun masuk dan keluar dari kapal-kapal asing yang berlabuh di Cape Town, Afrika Selatan. Mereka dikabarkan mengalami kondisi kerja yang buruk, terutama di kapal-kapal milik warga Taiwan, Korea, dan Jepang. Tentu laporan ini masih harus diinvestigasi oleh pemerintah Indonesia agar para ABK mendapat perlindungan dan tidak menjadi korban perdagangan orang.
Perdagangan orang adalah bentuk modern perbudakan manusia dan merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Faktor-faktor yang berkontribusi atas terjadinya perdagangan orang beragam dan kompleks. Di antaranya adalah pembangunan yang tak menyejahterakan, hak rakyat atas pekerjaan yang terabaikan, politik gender yang timpang, kemiskinan, lemahnya proses hukum, serta pelayanan publik dan sistem ketenagakerjaan yang korup.
Istilah "perdagangan orang" pertama kali dikemukakan pengertiannya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Protokol untuk Mencegah, Menekan, dan Menghukum Perdagangan Manusia. Bersama Protokol terhadap Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut, dan Udara serta Protokol terhadap Pabrikan dan Perdagangan Ilegal Senjata Api, Suku Cadang, dan Komponennya serta Amunisi, protokol itu diadopsi oleh Kovensi PBB untuk Kejahatan Terorganisasi Transnasional, yang lazim disebut sebagai Protokol Palermo.
Indonesia meratifikasi Protokol Palermo melalui Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pada 2007. Pemerintah, melalui Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, merevisi Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan dilanjutkan dengan penyusunan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang periode 2020-2024. Semoga proses perumusan kebijakan ini berlangsung sesuai dengan target dan tidak terhambat pandemi Covid-19.
Pemerintah juga telah membentuk 13 satuan tugas penegakan hukum dan tiga satuan tugas antar-lembaga tingkat daerah dan kabupaten, serta menyebarluaskan materi-materi perdagangan orang untuk meningkatkan kesadaran publik. Upaya lainnya adalah menerbitkan peraturan menteri yang mewajibkan pemerintah daerah memuat pemberantasan perdagangan orang ke dalam prioritas kebijakan mereka dan perlindungan menyeluruh terhadap warga negara Indonesia di luar negeri. Pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan yang memungkinkan LPSK memasukkan pembayaran ganti rugi sebagai bagian dari penghukuman terhadap pelaku kejahatan sebelum atau sesudah putusan atas kasus perdagangan orang.
Memerangi perbudakan modern tentu bukan soal mudah, karena kompleksitas masalah yang dihadapi. Namun menciptakan kebijakan yang lebih baik dalam membebaskan orang dari perbudakan dan membantu mereka melakukan transisi menuju kebebasan adalah ikhtiar yang harus terus dilakukan, karena perbudakan modern adalah kejahatan yang disembunyikan.