Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pesantren perlu mengajarkan pendidikan lingkungan dan kesetaraan gender.
Dua kesadaran ini akan mendorong kebijakan mitigasi krisis iklim dan demokrasi lebih efektif.
Para guru pesantren harus meluaskan kajian dan pengetahuan mereka.
DI tengah kekhawatiran atas dampak krisis iklim, lembaga pendidikan menjadi tumpuan buat membangun kesadaran pada lingkungan, tak terkecuali pondok pesantren. Tanpa kebijakan negara yang kuat ditopang kesadaran orang banyak, mitigasi krisis akibat pemanasan global itu akan makin sulit dilakukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panel Antarpemerintah dalam Perubahan Iklim (IPCC), persekutuan ilmuwan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, menerbitkan laporan terbaru awal April 2022 yang menyebutkan bumi kini berada di jalur cepat bencana iklim. Penyebabnya: kebijakan tiap negara tak cukup untuk mencegah suhu bumi naik 1,5 derajat Celsius dibanding pada masa praindustri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca 29-41 persen dari 2,87 miliar ton setara CO2 pada delapan tahun mendatang. Dalam dokumen jangka panjang mitigasi krisis iklim, pemerintah mengandalkan usaha ini pada kebijakan pembangunan rendah karbon. Artinya, pembangunan dan perilaku masyarakat akan didorong serendah mungkin menghasilkan emisi. Sayangnya, rencana-rencana itu justru terancam oleh pelbagai kebijakan pemerintah sendiri yang hendak menggenjot investasi demi menggapai klasifikasi sebagai negara maju.
Dalam penjelasan Undang-Undang Cipta Kerja, Indonesia hendak mencapai pendapatan per kapita Rp 27 juta per bulan, dari kini sekitar Rp 4 juta per bulan. Untuk menaikkan hampir tujuh kali lipat pendapatan itu, pemerintah menggenjot investasi dan pertumbuhan ekonomi dengan berbagai cara. Pada saat yang sama, jika merujuk pada teori klasik Simon Kuznets, pertumbuhan ekonomi selalu paralel dengan kerusakan lingkungan.
PBB telah memberikan panduan menghindarkan dunia dari bencana iklim seraya tak kehilangan peradaban dan kemajuan, yakni ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan. Ada tiga prinsip teknokratik untuk mencapainya: keadilan, kesejahteraan, dan kelestarian. Tiga prinsip tersebut bisa terwujud melalui kebijakan negara dan didukung publik secara luas.
Dukungan itu berupa kesadaran tiap individu. Contoh kecil bertautnya kebijakan dan kesadaran individu ada dalam manajemen sampah. Indonesia menjadi produsen sampah yang mengotori laut terbesar di dunia. Dari 68 juta ton sampah setahun, hampir separuhnya adalah sampah organik. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, tiap orang Indonesia membuang 184 kilogram sampah sisa makanan setahun.
Sampah adalah sumber metana, gas rumah kaca yang 25 kali lebih kuat menyebabkan krisis iklim dibanding karbon dioksida. Dalam perhitungan Kementerian Keuangan, agar Indonesia bisa mencapai target penurunan emisi 2030, mitigasi gas metana membutuhkan biaya Rp 180 triliun, 6,5 persen dari nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021.
Maka munculnya pesantren-pesantren yang mengajarkan pengurangan sampah sejak dalam pikiran, mengolah, dan memanfaatkannya kembali menjadi produk bermanfaat menggembirakan di tengah pelbagai problem itu. Sebagai negara muslim terbesar di dunia, membangun kesadaran perlindungan lingkungan berbasis ajaran agama akan punya dampak yang signifikan.
Islam sesungguhnya memiliki ajaran selaras dengan perlindungan lingkungan hidup. Al-Quran menekankan prinsip kesucian dan tidak berlebih-lebihan. Hidup Nabi Muhammad, yang menjadi acuan akhlak tiap muslim, selalu memperhatikan hal-hal terkecil yang selaras dengan alam. Ia, misalnya, menganjurkan kita agar makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang. Artinya, kita harus menakar diri dengan konsumsi secukupnya. Begitu juga tentang pentingnya kebersihan—antara lain dalam frasa “kebersihan adalah sebagian dari iman”.
Selain membangun kesadaran lingkungan, pesantren-pesantren yang ada dalam edisi khusus majalah ini menekankan pentingnya kesadaran gender. Pemahaman pada gender akan menghindarkan pesantren menjadi sarang kekerasan seksual, seperti marak terjadi hari-hari ini. Kekerasan seksual adalah kejahatan primitif yang pembuktiannya acap sulit.
Dengan kurikulum kesetaraan gender dan kesadaran lingkungan ini, pesantren membuka diri dari gembok ortodoksi dan membawa percakapan tentang agama relevan dengan zaman. Keduanya penting sebagai basis kita membangun demokrasi. Jika kesadaran ini meluas, pesantren akan jadi tumpuan harapan Indonesia memasuki negara maju yang beradab.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo