Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Petani Jawa Yang Menyedihkan

Sistem tanam paksa telah mengakibatkan kesengsaraan bagi petani jawa. mereka banyak yang mati karena kelaparan dan capek. desa pertanian yang miskin itu kini tak lagi bisa menampung kehidupan mereka.

27 September 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Semoga Tuhan menyelamatkan kita dari pemberontakan baru." KALIMAT itu menutup sebuah surat bertanggal 16 September 1831. Pengirimnya dari Jawa. Penerimanya di Negeri Belanda. Di kedua tempat yang sangat berjauhan itu, orang baru saja selesai menyaksikan pemberontakan Diponegoro yang dahsyat .... Siapa penulis surat itu dirahasiakan. Yang pasti, ia seorang Belanda penting di tanah jajahan, yang ingin menumpahkan keluhannya kepada temannya, mungkin seorang yang berpengaruh di dekat pusat kekuasaan di Den Haag. Hampir 100% isi surat itu adalah cercaan kepada Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa -- dan kepada tokoh besar yang menerapkan sistem itu, Gubernur-Jenderal J. van den Bosch. "Belum pernah sebelumnya di Jawa berkuasa seorang despot yang sekeras-kepala dan mau menang sendiri seperti J. van den Bosch," sembur surat itu. Van den Bosch mungkin bukan tiran terbengis dalam sejarah Jawa, tapi pasti ia orang yang percaya bahwa orang Jawa goblok dan bahwa Sistem Tanam Paksa adalah jalan yang baik. Van den Bosch mungkin bukan Iblis, tapi pasti bahwa sistem yang dilaksanakannya dengan gemuruh itu telah banyak menimbulkan kesengsaraan. Tentu, bukan maksud van den Bosch untuk membuat rakyat Jawa sengsara. Ia bahkan bicara bersedia berkorban untuk membahagiakan mereka. Ia hanya tak setuju dengan "impian filantropik" yang ingin membahagiakan orang Jawa dengan cara memberi rakyat berkulit coklat itu hak asasi yang aneh-aneh bagi mereka sendiri. Bahwa kemudian ada ekses .... "Memang pedih untuk mengakui, bahwa keadaan rakyat Jawa sedemikian mengejutkan." Itu adalah sepotong kalimat yang ditulis oleh L. Vitalis, seorang bekas inspektur Tanam Paksa, di tahun 1851 --dengan ilustrasi yang memang muram: laporannya dari awal 1835 dari daerah Priangan. Di sanalah mayat petani bergelimpangan karena capek dan lapar, disepanjang jalan antara Tasikmalaya dan Garut, Arjawinangun dan Galo. Dan bila mereka dibiarkan saja, tak dikuburkan, itu karena alasan Bupati yang kalem: "Di waktu malam, harimau akan menyeret mereka." Bersama dengan itu, sistem van den Bosch menyeret pertanian Jawa ke dalam suatu impasse. Sejak inilah apa yang terkenal sebagai "involusi pertanian" sesedikit demi sedikit mengakar di Jawa. Ahli anthropologi Clifford Geertz telah melukiskan keadaan itu dan kata "involusi" telah jadi buah bibir di kalangan ahli ilmu sosial Indonesia, namun barangkali ada gunanya melihat kembali cirinya. Inti dari kebuntuan itu adalah kemiskinan, yang dibagi-bagi. Hidup bersama diatur ke dalam suatu harmoni di permukaan, ketika penduduk kian bertambah dan tanah yang jadi keropos itu kian menyempit. Risiko dihindari, konflik ditelan, karena dalam etika hidup yang pas-pasan itu (seorang penulis menyebutnya sebagai "subsislence ethic") satu langkah yang salah bisa menenggelamkan habis. "Semoga Tuhan menyelamatkan kita dari pemberontakan baru," tulis seorang Belanda di tanah jajahan tahun l831 Tapi bahkan pemberontakan pun tak bisa mengguncang, sebab tenaga terbatas, tujuan terlalu bersahaja, sementara bahaya demikian besar hingga pak tani harus sekaligus menangis seraya bermimpi. Ahli sejarah Sartono Kartodirdjo dengan sangat bagus telah melukiskan pergolakan-pergolakan petani di Jawa itu: teruncam dari tanah, mereka angkat senjata, kemudian kalah, mati, sementara Ratu Adil tak kunjung tiba. Bahkan PKI pun, di tahun 1948 dan 1965, gagal. Tak cukup kekuatan terbina di sela-sela pematang dan padi. Tapi yang tak bersuara bukanlah berarti orang yang mati. Atau yang tak berubah. Terutama bila kemiskinan, yang dulu dibagi, sekarang hanya dijejalkan kepada yang terlemah, dan desa-desa tak bisa lagi menampung, dan kota jadi sumpek "Saya sadar saya telah bersikap pahit," tulis Multatuli. Tapi bisakah ia sebaliknya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus