Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cari Angin

Pabrik Uang Palsu di Kampus Agama

Putu Setia

Putu Setia

Mantan wartawan Tempo yang menjadi pendeta Hindu dengan nama Mpu Jaya Prema. Tinggal di Bali

Lalu muncul pertanyaan bernada cemoohan, bagaimana bisa kampus berlabel agama menjadi sarang para penjahat ekonomi?

21 Desember 2024 | 06.21 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Polisi menggerebek pabrik uang palsu di Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa.

  • “Pabrik” uang palsu itu berada di dalam gedung perpustakaan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

  • Masihkah universitas yang menyandang label agama, apa pun nama agama itu, layak disebut sebagai kampus agama?

KEPOLISIAN Daerah Sulawesi Selatan menggerebek pabrik uang palsu di Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa. Polisi menemukan uang palsu pecahan seratus ribuan senilai ratusan juta rupiah beserta alat percetakannya yang canggih. Mesin pencetak modern itu bisa memproduksi uang palsu yang nyaris sulit dibedakan dengan uang asli. Belum begitu jelas ke mana saja uang palsu itu sudah diedarkan. Namun polisi dari resor Kabupaten Gowa sudah menangkap 17 orang yang diduga pelaku pemalsuan uang. Semuanya sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang sudah jelas adalah “pabrik” uang palsu itu berada di dalam gedung perpustakaan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Otak pelaku kejahatan ini adalah kepala perpustakaan itu sendiri. Ini mengagetkan. Lalu muncul pertanyaan bernada cemoohan, bagaimana bisa kampus berlabel agama menjadi sarang para penjahat ekonomi? Wajar kalau mahasiswa di sana langsung mengadakan aksi menuntut agar rektor UIN diberhentikan. Dan wakil rektor yang menerima aksi damai mahasiswa itu berjanji akan menindak siapa pun yang terlibat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama ini kesan yang muncul secara tradisional adalah sesuatu yang menyandang label agama, apa pun nama agama itu, merupakan area di mana kejahatan seharusnya tidak terjadi. Pada awal-awal kelahiran negeri ini, mereka yang berkecimpung dan mengabdikan diri di lembaga atau instansi keagamaan menjaga kesalehannya. Perilakunya adem dan menonjolkan kesederhanaan. Guru agama, contoh kecil saja, terasa lebih dihormati daripada guru olahraga di sekolah umum.

Sekarang kesan itu sudah tidak ada lagi. Seseorang, di mana pun bertugas, adalah manusia yang selalu bisa berbuat salah. Jika pengendalian dirinya lepas, di mana pun orang itu bertugas, bisa saja memanfaatkan kesempatan untuk berbuat jahat, yang tentu saja bertentangan dengan ajaran agama. Kita punya menteri agama yang masuk bui karena korupsi. Kita kerap mendengar tentang guru agama yang melecehkan santrinya. Pun kita mendengar berita ada penceramah agama yang menistakan umatnya di pengajian yang terbuka, meski kita tak enak mendengarnya. Lalu, ketika ada kampus yang menyandang label agama menjadi pabrik pembuatan uang palsu, masihkah kita terusik: kok di sana, ya?

Tersisa pertanyaan, masihkah universitas yang menyandang label agama, apa pun nama agama itu, layak disebut sebagai kampus agama? Artinya, yang diajarkan di sana adalah pengetahuan yang selalu dikaitkan dengan ciri khas ajaran agama itu? Ternyata sudah ada perubahan. Universitas Islam negeri di mana pun sudah punya fakultas dan jurusan yang tidak berkaitan dengan agama. UIN Alauddin Makassar punya Fakultas Sains dan Teknologi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, serta Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Tentu selain fakultas yang memang berkaitan dengan Islam.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (tapi kampusnya di Provinsi Banten) punya Fakultas Ilmu Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Fakultas Psikologi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Sains dan Teknologi, serta yang terkenal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar punya Fakultas Teknik, Fakultas Pendidikan, Fakultas Teknologi Informasi dan Sains, Fakultas Kesehatan, Fakultas Hukum, serta Fakultas Ekonomi, Bisnis, dan Pariwisata.

Jadi sesungguhnya tidak tepat pula julukan kampus agama untuk perguruan tinggi berlabel agama itu. Barangkali ini cuma menandakan bahwa kampus berlabel agama dan kampus tak berlabel agama lantaran diayomi oleh kementerian yang berbeda. Universitas Islam dan Universitas Hindu, sepanjang ada label “negeri”, berada di bawah Kementerian Agama. Sedangkan universitas negeri lain di bawah Kementerian Pendidikan Tinggi. Entah sampai kapan pemisahan ini terus berlangsung, sementara bidang yang diajarkan perbedaannya hanya soal ciri khas yang bersifat lokal.

Kembali ke kasus ditemukannya pabrik uang palsu di kampus UIN Makassar, kita tak usah menambah kata celaan dengan menyebutkan: kok kampus agama menjadi sarang kejahatan? Yang namanya kejahatan itu bisa terjadi di mana saja. Bahwa jika kita mulai lagi menyebarkan rasa malu melakukan segala kejahatan, jika masih mengenakan label agama, nah, itu sesuatu yang baik.

Mari para tokoh agama, pendakwah agama, politikus yang berkumpul di partai berasas agama, bahkan siapa pun kalian yang mengangkat sumpah berdasarkan ajaran agama, ketika dilantik sebagai pejabat, malulah berbuat jahat. Jadilah contoh membumikan ajaran agama yang santun dan damai dalam kehidupan keseharian. Rahayu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus