Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Australia menjadi negara pertama yang mengesahkan undang-undang larangan penggunaan media sosial bagi warganya yang berusia di bawah 16 tahun.
Para peneliti di University of Sunshine Coast menyoroti pentingnya melindungi kesehatan mental, perkembangan, dan kesejahteraan anak.
Di Indonesia, sejauh ini, aturan perlindungan anak dalam ruang digital tertuang dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) perubahan kedua.
Australia menjadi negara pertama yang melakukan pembatasan media sosial. Akhir November 2024, negara ini mengesahkan undang-undang larangan penggunaan media sosial bagi warganya yang berusia di bawah 16 tahun. Aturan ini mengharuskan perusahaan teknologi besar, seperti Instagram dan TikTok, membuat mekanisme pencegahan agar anak-anak di bawah umur tidak dapat membuat serta mengakses akun media sosial mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini bukan pertama kalinya suatu negara membatasi penggunaan media sosial. Prancis, misalnya, sudah menerbitkan undang-undang yang membatasi akses media sosial bagi penduduk berusia di bawah 15 tahun tanpa izin orang tua. Di Utah, Amerika Serikat, juga ada undang-undang yang melarang penggunaan media sosial bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun kecuali atas izin orang tua, meskipun aturan ini kemudian dibatalkan oleh pengadilan federal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aturan anyar di Australia itu tak lepas dari perdebatan. Sementara itu, perusahaan teknologi media sosial menganggap keputusan pemerintah Australia terburu-buru dan tidak melihat upaya yang sudah dilakukan industri untuk memastikan pengalaman sesuai dengan usia, banyak orang tua justru mendukung langkah berani tersebut. Pendapat para ahli dan peneliti di Australia pun terbelah. Saya menganalisis reaksi para ahli dari berbagai bidang ilmu, seperti komunikasi, psikologi, pendidikan, dan hukum, di Australia terhadap "The Online Safety Amendment (Social Media Minimum Age) Bill 2024".
Mereka yang mendukung kebijakan pemerintah menilai perlindungan terhadap anak-anak Australia adalah hal utama. Para peneliti di University of Sunshine Coast menyoroti pentingnya melindungi kesehatan mental, perkembangan, dan kesejahteraan anak. Untuk itu, pelarangan media sosial bagi penduduk berusia 16 tahun ke bawah dianggap sebagai langkah penting demi memastikan anak-anak dan remaja tumbuh dalam lingkungan sehat yang mendukung perkembangan fisik, psikososial, serta emosional mereka.
Para peneliti percaya kebijakan ini akan membantu membangun hubungan interpersonal yang baik, pengaturan diri, serta pembentukan identitas dan keterampilan kognitif tingkat lanjut. Ahli saraf di Universitas Swinburne menilai penggunaan media sosial dapat meningkatkan ketidakpuasan tubuh sehingga dapat mempengaruhi pola makan. Pelarangan penggunaan media sosial bagi anak-anak dan remaja dianggap keputusan yang baik untuk melindungi kesehatan tubuh serta mental anak dan remaja sekaligus mengurangi masalah terkait dengan citra tubuh.
Di sisi lain, mereka yang menentang kebijakan pembatasan itu berpendapat aturan tersebut justru akan menimbulkan masalah baru, seperti efektivitas kontrol dan tata kelola, privasi dan keamanan, serta potensi isolasi dan pengucilan sosial. Dosen senior dan peneliti di University of Sydney dan Monash University berpendapat larangan ini tidak akan membantu anak-anak dalam jangka panjang karena pengembangan teknologi akan berfokus pada akurasi kontrol, bukan pada budaya digital generasi muda. Selain itu, undang-undang ini telah mengabaikan bukti empiris yang menunjukkan bahwa pelarangan akses justru membuat mereka terkucil dari lingkungan sosial.
Dalam perspektif teknologi, profesor di Queensland University of Technology berpendapat teknologi verifikasi usia saat ini belum siap dan bila ada, sebagian besar belum teruji. Dosen dan pengajar bidang teknologi informatika di University of Melbourne menilai perusahaan teknologi berpotensi mengambil kesempatan mempromosikan serta melebih-lebihkan efektivitas verifikasi usia sambil mengecilkan implikasinya. Keduanya sependapat bahwa teknologi verifikasi usia ini akan menggunakan data pribadi dan biometrik yang tentunya sangat terkait dengan keamanan digital serta privasi seseorang.
Di Indonesia, sejauh ini, aturan perlindungan anak dalam ruang digital tertuang dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) perubahan kedua, khususnya pada Pasal 16A. Ketentuan ini mewajibkan penyelenggara sistem elektronik (PSE) melindungi anak-anak yang menggunakan atau mengakses sistem elektronik.
Namun UU ITE tidak merinci implementasinya karena ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan anak dalam sistem elektronik akan diatur dalam peraturan pemerintah. Hingga pertengahan 2024, pemerintah Indonesia masih menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Perlindungan Anak dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik.
Berfokus pada Pendidikan Literasi Media dan Informasi
Di tengah maraknya kasus perundungan, ujaran kebencian, misinformasi dan disinformasi, pornografi, serta kekerasan digital yang melibatkan anak-anak, saya sependapat dengan para ahli hukum dan pendidikan di Griffith University yang menyarankan pendekatan lebih komprehensif. Misalnya, memperkenalkan kewajiban bersama dalam menjaga platform digital yang sehat dan menumbuhkan pemikiran kritis serta literasi digital dalam mengatasi masalah yang dihadapi anak-anak secara daring.
Yang diperlukan, selain kebijakan pemerintah, adalah pendidikan yang berorientasi pada pembangunan kemampuan berpikir kritis anak terhadap konten media. Artinya, pendidikan literasi media dan informasi makin penting serta perlu menjadi prioritas. Pendidikan literasi media atau LIM, menurut UNESCO, adalah seperangkat kompetensi yang memungkinkan orang untuk secara kritis menggunakan teknologi digital demi kemajuan diri dan masyarakat. Dokumen UNESCO tentang Pedoman Kebijakan dan Strategi LIM (2013) mendorong negara-negara menyusun peta jalan dalam pendidikan terkait dengan media dan informasi dalam era digital.
Laporan UNESCO tentang Praktik dan Kebijakan LIM di Asia (2020) menyebutkan pendidikan di Indonesia belum memasukkan kerangka berpikir LIM ke dalam kurikulum pembelajaran. Akses dan kemampuan teknis dalam menggunakan teknologi digital memang penting, tapi yang lebih mendasar adalah fondasi berpikir kritis, kemampuan memecahkan masalah, dan kemauan untuk terus belajar.
Generasi muda saat ini memang cepat beradaptasi dengan teknologi digital terbaru, tapi hal ini tidak otomatis membuat mereka matang dalam berpikir dan bertindak di dunia digital. Karena itu, peningkatan kompetensi penggunaan media sosial di kalangan anak muda Indonesia melalui kurikulum pendidikan di sekolah sangatlah penting. Indonesia bisa belajar dari negara lain, seperti Australia, Kanada, Amerika Serikat, dan negara Barat lain, dalam menyusun kebijakan serta peta jalan pendidikan LIM di sekolah.
Sudah saatnya dunia pendidikan di Indonesia serius mengupayakan cara terbaik dalam membantu generasi muda mengembangkan kebiasaan mempertanyakan sesuatu dan keterampilan berekspresi yang mereka butuhkan untuk menjadi pemikir kritis, komunikator yang efektif, dan warga negara yang aktif. Hal ini bisa menjadi agenda bagi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kementerian Komunikasi dan Digital untuk merumuskan arah kebijakan pendidikan literasi media digital Indonesia.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.