Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Spekulasi Reshuffle di Tengah Pandemi

Presiden berencana mereshuffle kabinet. Kegaduhan politik akan mengganggu kinerja penanganan pandemi.

1 Juli 2020 | 06.06 WIB

Presiden Buka Opsi Reshuffle Bagi Menteri yang Bekerja Biasa Saja
Perbesar
Presiden Buka Opsi Reshuffle Bagi Menteri yang Bekerja Biasa Saja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Arya Fernandes
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100


Menjelang berakhirnya situasi darurat nasional penanganan pandemi Covid-19, beredar video Presiden Joko Widodo ketika menyampaikan pidato dalam rapat paripurna kabinet. Dalam pidato resmi yang dirilis oleh Sekretariat Negara itu, Jokowi kecewa atas pencapaian buruk para menteri dalam menangani situasi krisis. Presiden menyindir menteri yang tidak memiliki sense of crisis. Berulang kali Presiden meminta para menteri bekerja secara extraordinary.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Presiden bahkan melempar wacana akan membubarkan lembaga atau mengganti menteri yang dianggap tidak berkinerja baik. Apa dampak pernyataan Presiden tersebut secara politik? Beranikah Presiden melakukan reshuffle?

Di tengah krisis pandemi Covid-19 saat ini, rasanya terlalu riskan bagi Istana untuk melempar rumor, apalagi membangun spekulasi soal reshuffle. Bila Istana ingin melakukan reshuffle, hal itu akan sangat mudah sekali dilakukan. Apalagi Presiden memiliki mandat politik yang besar saat ini. Namun Istana justru memilih melempar “gosip” politik ke tengah publik.

Setelah beredarnya pidato Presiden dalam rapat tersebut, dalam hari-hari ke depan, isu reshuffle akan menjadi liar dan dapat menggelinding ke mana-mana. Spekulasi reshuffle bisa berpotensi membuat kegaduhan secara politik, terutama di lingkaran kekuasaan. Partai dan sejumlah menteri yang merasa posisinya terancam akan melakukan manuver untuk mengamankan posisi, bisa dengan mendekati ketua umum partai politik atau orang yang dianggap dekat dengan Presiden.

Kegaduhan politik lainnya akan mengganggu kinerja penanganan pandemi. Partai-partai akan saling sikut untuk mengamankan posisinya di kabinet atau menggeser posisi partai lain. Dalam tiga kali reshuffle sebelumnya, drama-drama reshuffle terjadi dalam jangka waktu cukup panjang serta menguras emosi publik dan partai, yang sama sekali tak ada manfaatnya bagi kepentingan publik.

Dari sisi ekonomi, spekulasi reshuffle akan membuat pasar “wait and see. Para pialang saham akan menunggu apakah Presiden akan benar-benar me-reshuffle dan menduga-duga siapa yang akan diganti.

Bila ingin melakukan reshuffle, Presiden bisa melakukannya kapan saja. Yang dibutuhkan Presiden adalah memastikan partai-partai koalisi dapat menerima keputusan tersebut.

Sekarang memang waktu yang tepat bagi Presiden untuk mengevaluasi kinerja para menteri menjelang satu tahun periode kedua kepemimpinannya. Evaluasi terutama dapat dilakukan terhadap menteri-menteri yang secara langsung terlibat dalam penanganan pandemi Covid-19 atau yang tidak berkinerja baik.

Namun proses reshuffle merupakan urusan domestik Istana, bukan urusan publik. Publik memang punya kepentingan agar presiden mengevaluasi kinerja menteri yang kurang bekerja maksimal. Tapi proses reshuffle sebaiknya tidak didahului spekulasi-spekulasi yang dapat kontraproduktif bagi penanganan wabah, baik di pusat maupun daerah.

Beberapa hari belakangan, sejumlah lembaga negara dan organisasi non-negara sudah memberikan pandangan ihwal kinerja pemerintahan di sejumlah bidang, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman. KPK, misalnya, menyoroti potensi konflik kepentingan dan kerugian negara dalam program Kartu Prakerja serta validasi data penerima Kartu Prakerja (Koran Tempo, 22 Juni 2020). Adapun Ombudsman menyoroti soal rangkap jabatan di komisaris badan usaha milik negara (BUMN).

Survei opini publik yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei juga menunjukkan evaluasi terhadap penanganan pandemi Covid-19. Survei Indikator Politik yang dirilis pada 16-18 Mei lalu, misalnya, menemukan bahwa sekitar 60,3 persen responden mengatakan penyaluran dana bantuan sosial dalam pandemi tidak tepat sasaran.

Pada masa pandemi, wacana yang berkembang di Istana sebaiknya soal isu-isu publik. Urusan dapur politik Istana untuk melakukan reshuffle sebaiknya menjadi urusan Istana sendiri. Hal yang dibutuhkan publik saat ini adalah evaluasi Istana setelah tiga bulan penanganan pandemi: apa capaiannya dan apa target Presiden?

Masyarakat perlu mendapatkan informasi yang terbuka ihwal realisasi anggaran pemerintah dalam penanganan wabah. Misalnya, soal distribusi dana bantuan sosial, efektivitas Kartu Prakerja, dan program-program strategis lainnya yang berhubungan dengan wabah. Selain itu, perlu dilakukan audit untuk melihat efektivitas penyaluran dana bantuan sosial dan program strategis lainnya yang menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Di masa sulit ini, kita membutuhkan kemampuan Presiden untuk membangun optimisme publik, membangun sikap saling percaya di antara elite-elite politik, dan mendorong kolaborasi untuk memulihkan situasi ekonomi. Presiden harus berada di garis terdepan dalam peta jalan penanganan pandemi serta memberikan panduan dan target yang jelas dan terukur.

Perkara reshuffle seratus persen hak prerogatif presiden. Dengan mandat dan legitimasi politik yang tinggi dibandingkan dengan periode pertama, Presiden seyogianya tidak tersandera untuk melakukan reshuffle. Pada periode kedua ini, Presiden seharusnya tidak punya beban politik lagi. Bila Presiden berani mempertaruhkan reputasi politiknya untuk penanganan pandemi, saya rasa itu merupakan warisan terbesar yang akan dikenang publik.

Ali Umar

Ali Umar

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus