Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
@mpujayaprema
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surat jalan itu penting sekali. Banyak ragamnya. Cobalah lacak di “Mbah Google”, ada puluhan contoh surat jalan. Bukan hanya untuk keperluan bepergian, juga untuk mengangkut barang, membawa kayu bakar, mengangkut pasir, menjual sapi. Semua membutuhkan surat keterangan jalan. Apalagi di saat pandemi Covid-19, wajib ada.
Bulan lalu saya perlu surat jalan ke kota yang sedang berstatus pembatasan kegiatan masyarakat karena pandemi Covid-19. Berangkat pagi sekali, Kepala Desa belum pulang dari mancing. Tapi formulir surat jalan sudah tersedia, tinggal diisi kolom-kolomnya. Istri Kepala Desa cuma menanyakan keperluan saya ke kota. Saya sebutkan, membeli obat. Lalu, surat diteken istri Kepala Desa. Kata dia, toh tak ada yang peduli siapa tanda tangan. Kan sudah ada kop surat dan stempel. Bayar Rp 5.000, lebih murah dari surat jalan jika menjual sapi ke pasar hewan.
Sekarang saya paham, betapa pentingnya Joko Tjandra membutuhkan surat jalan ketika hendak ke Pontianak naik pesawat terbang. Di bandara tentu ditanyakan surat jalan, juga surat bebas Covid-19. Surat bebas Covid-19 ia peroleh dari Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri atas nama Joko Soegiarto, pekerjaan konsultan, beralamat di Mabes Polri. Ini sesuai dengan surat jalan dengan pekerjaan yang sama. Cuma di surat jalan namanya lengkap, Joko Soegiarto Tjandra. Sesuai dengan e-KTP yang sudah dipegangnya.
Dengan kop resmi dari markas besar kepolisian dan ditandatangani seorang brigadir jenderal polisi, surat jalan ini tak pantas diragukan. Bahwa belakangan orang diberi tahu instansi setingkat biro di bawah Badan Reserse Kriminal Polri tak dibenarkan membuat surat jalan, meski untuk lingkup intern kepolisian sekalipun, itu informasi yang cukup diketahui secara intern pula.
Sekarang yang saya pikirkan, berapa Joko Tjandra membayar surat jalan itu? Apakah cukup Rp 5.000? Atau, seperti penjual ternak yang membutuhkan surat jalan dari Kepala Desa, yang membayar sampai Rp 100 ribu dengan alasan harga seekor sapi paling murah Rp 5 juta? Pasti saya tak menemukan jawaban, bahkan jawaban mungkin tak ada, sampai Brigjen Prasetijo Utomo, yang membuat surat jalan itu, selesai diperiksa.
Ya, sudahlah. Lalu pikiran saya beralih, kok ada yang bisa membocorkan surat itu? Surat jalan yang pernah saya cari, cuma dilihat petugas pemeriksa di batas kota, lalu dikembalikan. Saya yakin istri Kepala Desa tak punya arsipnya. Kenapa surat jalan sang jenderal untuk sang buron tiba-tiba ada kopiannya, dipegang oleh Boyamin Saiman, lalu diserahkan ke DPR? Boyamin ini Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia.
Apakah Prasetijo Utomo kurang cermat untuk menipu? Sudah jelas dia tak berhak membuat surat seperti itu. Lagi pula penerima surat bukan staf atau karyawan sipil di kepolisian. Artinya, surat ini jelas mengada-ada. Lha kok tak dianggap “surat jalan palsu” sehingga tidak usah menyimpan arsipnya?
Pikiran liar saya lantas menduga, pihak Joko Tjandra yang membocorkan surat itu. Untuk keperluan apa surat itu dibocorkan, saya tak mau berpikir lagi. Saya yakin seorang koruptor yang jadi buron pasti selalu ingin membuat gaduh dan mengobok-obok instansi resmi untuk menunjukkan aparat hukum kita bisa dipermainkan.
Saya menutup pikiran lain bahwa surat jalan sang jenderal ini sesungguhnya dikerjakan sebuah tim, sehingga nomor surat dan lain-lainnya resmi tersimpan di kantornya. Kalau hal itu saya pikirkan, berarti saya berpikir negatif tentang instansi kepolisian. Ada banyak yang terlibat dalam tim, dan “uang mengalir sampai jauh”.