Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Terorisme Musuh HAM

Teror yang melanda Indonesia belakangan ini bermula dari kerusuhan narapidana terorisme di Rumah Tahanan Markas Komando Brigade Mobil Kepolisian RI di Depok pada 9-10 Mei 2018.

18 Mei 2018 | 07.15 WIB

Massa yang tergabung dalam Forum Indonesia Guyub membentangkan sejumlah spanduk saat menggelar aksi solidaritas dan doa bersama untuk korban bom  Surabaya dan Mako Brimob di depan Patung Kuda, Jakarta, 15 April 2018. TEMPO/M Taufan Rengganis
Perbesar
Massa yang tergabung dalam Forum Indonesia Guyub membentangkan sejumlah spanduk saat menggelar aksi solidaritas dan doa bersama untuk korban bom Surabaya dan Mako Brimob di depan Patung Kuda, Jakarta, 15 April 2018. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teror yang melanda Indonesia belakangan ini bermula dari kerusuhan narapidana terorisme di Rumah Tahanan Markas Komando Brigade Mobil Kepolisian RI di Depok pada 9-10 Mei 2018. Setelah itu, diduga sel-sel teroris mulai bergerak untuk menciptakan teror, khususnya dengan menyerang aparat kepolisian sebagai simbol penegakan hukum. Serangkaian bom bunuh diri meledak di Jawa Timur dan mengakibatkan 28 orang tewas dan 57 orang luka-luka. Markas Kepolisian Daerah Riau di Pekanbaru juga diserang dan mengakibatkan seorang polisi tewas dan dua lainnya terluka. Para pelaku diduga adalah anggota Jamaah Ansharud Daulah, bagian dari kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Fenomena yang baru pertama kali terjadi di Indonesia dalam teror di Jawa Timur adalah pelibatan perempuan dan anak-anak sebagai pelaku bom bunuh diri. Hal ini menyisakan pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi, apa motif dan penyebabnya?

Dalam konteks ini, pendekatan hak asasi manusia (HAM) sangat berperan untuk mengidentifikasi akar masalah yang memicu aksi terorisme, dari faktor sosial, ekonomi, budaya, maupun politik. Dengan demikian, kebijakan penanggulangan terorisme melalui pencegahan, mitigasi, dan deradikalisasi dapat berjalan efektif dan tepat sasaran.

Penanggulangan terorisme, meskipun sudah dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, masih belum maksimal. Menurut Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian, salah satu penyebabnya adalah keterbatasan regulasi tentang terorisme, yang hanya bersifat reaktif dan responsif. Menurut Tito, hal yang dibutuhkan saat ini adalah regulasi yang proaktif, sehingga aparat bisa dengan cepat bertindak mengungkap dan mencegah teror dari pihak-pihak yang sudah menjadi target sasaran aparat.

Harus diakui bahwa masih belum optimalnya penanggulangan terorisme karena lemahnya identifikasi akar masalah terorisme dan belum dibangunnya mekanisme pencegahan teror secara komprehensif. Teror yang masih terjadi merupakan bukti belum optimalnya kewajiban negara dalam melindungi dan memenuhi hak atas rasa aman dan hak hidup masyarakat.

Negara juga harus mulai secara serius memperhatikan dan mencegah pelibatan anak-anak dalam tindak pidana terorisme karena akan menimbulkan efek psikologis yang sangat buruk bagi anak-anak dalam memandang anak-anak pelaku teror. Sebagaimana diatur di dalam Pasal 63 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, setiap anak tidak boleh dilibatkan di dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan. Pasal 53 ayat (1) menyatakan setiap anak berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya.

Teror yang melibatkan anak-anak tersebut jelas menampar kemanusiaan kita dan kredibilitas negara secara keseluruhan. Mengapa hal ini tidak teridentifikasi sejak awal?

Teror adalah musuh bersama bagi umat manusia, sehingga menjadi kepentingan dan tugas kita bersama untuk memeranginya. Pendekatan terintegrasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan aktor-aktor non-negara sangat dibutuhkan karena teror tidak akan selesai melalui langkah penindakan hukum semata, misalnya hanya melalui Polri yang dibantu oleh TNI.

Teror telah merampas hak asasi manusia para korban dan masyarakat secara umum, khususnya hak untuk hidup, hak atas rasa aman, dan kemerdekaan dari rasa takut. Teror juga menyebabkan instabilitas suatu wilayah dan bangsa, membahayakan masyarakat, serta menjadi ancaman bagi perdamaian dan pembangunan.

Negara wajib melindungi setiap orang, di antaranya dengan mengambil tindakan semaksimal mungkin untuk mengadili para teroris dengan mengedepankan due process of law. Penanganan terorisme dengan cara dan pendekatan yang benar dan tepat, berbasis pada penghormatan serta perlindungan HAM, harus menjadi bagian penting dalam kebijakan dan program memerangi kejahatan terorisme.

Pendekatan berbasis HAM harus ada pada setiap tahap penanganan terorisme, termasuk ketika terduga teroris menghadapi proses hukum di pengadilan. Pendekatan HAM menekankan bahwa penanganan atas kejahatan terorisme harus akuntabel. Mekanisme untuk menjamin adanya kontrol dan pengawasan publik harus dibangun dan dijalankan atas wewenang yang diberikan kepada negara dalam kebijakannya memerangi terorisme.

Mimin Dwi Hartono

Mimin Dwi Hartono

Analis Kebijakan Madya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus