Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pembangkangan Konstitusi Terang-terangan

Rencana DPR dan pemerintah merevisi UU Pilkada secara kilat merupakan pelanggaran hukum. Publik jangan lengah.

27 Agustus 2024 | 16.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pembahasan undang-undang secara kilat sering kali menghasilkan produk hukum yang bermasalah.

  • DPR dan pemerintah tidak boleh bermain-main dalam memenuhi aspek formil pembentukan undang-undang.

  • Putusan MK juga tidak boleh dibenturkan dengan putusan Mahkamah Agung untuk kemudian dipilih mana yang lebih menguntungkan pihak tertentu.

PARA anggota DPR RI periode 2019-2024 kembali membuat publik marah. Menjelang berakhirnya masa jabatan mereka, para wakil rakyat ini malah menunjukkan manuver politik dengan mengebut pembahasan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Selain dilakukan secara tergesa-gesa, upaya ini merupakan perlawanan terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 60/PUU-XXII/2024 dan No. 70/PUU-XXII/2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembahasan undang-undang secara kilat sering kali menghasilkan produk hukum yang bermasalah, baik secara materiil dengan masuknya pasal kontroversial maupun secara formil yang tidak tertib prosedur dan tak transparan. Ujung-ujungnya, aturan itu kembali lagi diuji dan dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Persoalan lain dari pembahasan undang-undang yang terburu-buru adalah kecacatan formil karena tak sesuai dengan asas pembentukan peraturan yang baik. Terutama dalam hal keterbukaan sebagaimana Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Aspek lain yang juga bakal sulit dipenuhi adalah partisipasi publik. Bagaimana mungkin dalam waktu pembahasan yang singkat selama beberapa jam, DPR dapat melibatkan partisipasi publik secara bermakna?

DPR dan pemerintah tidak boleh bermain-main dalam memenuhi aspek formil pembentukan undang-undang. Lembaga legislatif dan eksekutif harus berkaca pada Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang membatalkan UU Cipta Kerja karena dinyatakan cacat formil, tidak transparan, terburu-buru, dan minim partisipasi publik.

Angin Segar Putusan MK

Fenomena politik menjelang pilkada 2024 yang begitu dinamis menarik untuk selalu disimak. Saat publik mulai pesimistis terhadap kondisi demokrasi yang terancam nepotisme dan koalisi gemuk, MK menjalankan tugasnya dengan baik sebagai penjaga konstitusi sekaligus penjaga demokrasi.

Lembaga ini memberikan ”kejutan’’ lewat dua putusan yang memberi angin segar bagi demokrasi sebagaimana dibacakan pada Selasa, 20 Agustus 2024. Dalam Putusan No. 60/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan Partai Buruh dan Partai Gelora, MK mengabulkan sebagian permohonan mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah.

Putusan tersebut menggambarkan keadilan dan kompetisi yang setara bagi setiap partai politik, baik yang memiliki kursi di DPRD maupun tidak. Putusan ini cukup progresif untuk menjaga demokrasi tetap tegak dengan memberikan kesempatan lebih luas bagi partai politik untuk ikut kontestasi pilkada. Masyarakat pun akan punya pilihan calon kepala daerah yang lebih beragam.

Dalam Putusan No. 70/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa secara historis, sistematis, praktik, serta perbandingan dengan pemilihan lain, syarat usia pencalonan kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan pada saat pelantikan pasangan calon terpilih.

MK juga menegaskan, Pasal 7 ayat 2 huruf e Undang-Undang Pilkada merupakan norma yang sudah jelas, terang-benderang, bak basuluh matohari, cetho welo-welo. Tidak perlu diberikan atau ditambahkan lagi makna lain. MK menegaskan, calon yang tidak memenuhi ketentuan tersebut berpotensi dinyatakan tidak sah oleh MK.

Sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat secara erga omnes sudah selayaknya dipatuhi seluruh elemen negara, khususnya DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang. Untung saja, pada Ahad, 25 Agustus 2024, KPU menetapkan aturan KPU tentang pencalonan kepala daerah akan mengikuti putusan MK tersebut. Jika tidak, ada 36 pilkada yang menghadapi masalah kotak kosong atau calon boneka.

Pembangkangan terhadap Konstitusi

Proses pembentukan undang-undang yang hanya didasarkan pada kesepakatan anggota Dewan tanpa menyelaraskan dengan norma peraturan perundang-undangan di atasnya—baik konstitusi, undang-undang, maupun putusan MK sebagai tafsir final konstitusi—merupakan preseden buruk dalam legislasi. Bahkan, praktik ini termasuk perbuatan melanggar hukum.

Sesungguhnya praktik demikian merupakan bentuk dari pembangkangan terhadap konstitusi atau constitutional disobedience. Hal ini sudah ditegaskan pada 2018. Ketika itu MK mengeluarkan putusan No. 98/PUU-XVI/2018 yang menegaskan, saat MK melalui putusannya mengadili suatu undang-undang atau suatu pasal, ayat, dan/atau bagian dari suatu undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka tindakan apa pun yang mengabaikan putusan terkait bersifat ilegal.

Putusan MK juga tidak boleh dibenturkan dengan putusan Mahkamah Agung untuk kemudian dipilih mana yang lebih menguntungkan pihak tertentu. Posisi Mahkamah Konstitusi merupakan penafsir akhir konstitusi yang menguji konstitusionalitas norma dalam undang-undang berdasarkan UUD 1945. Dengan demikian, putusan MK ibarat sinar matahari yang menyinari setiap penjuru dan harus menjadi pedoman yang diikuti semua pihak tanpa terkecuali.

DPR dan pemerintah perlu menggunakan kebijaksanaan serta kesadaran berkonstitusi agar tidak pilah-pilih dalam menaati dan tunduk terhadap putusan MK. Tidak ada pilihan selain konsisten mematuhi putusan MK. Toh, pada tahun lalu, DPR dan pemerintah menaati Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 soal syarat usia capres-cawapres. Mengapa sekarang malah bersikap terbalik?

Ke depan, publik harus tetap waspada dan terjaga menghadapi masa "lame duck" atau masa transisi kekuasaan ini. Jangan sampai kita kecolongan. Karena bisa saja para elite politik culas memanfaatkan momentum untuk melakukan korupsi legislasi dengan membuat peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan asas dan tak sejalan dengan aspirasi publik.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Fahmi Ramadhan Firdaus

Fahmi Ramadhan Firdaus

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jember 

 
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus