Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seno Gumira Ajidarma
Panajournal.com
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apakah Ramayana, yang menjadi sumber susastra wayang, merupakan ajaran moral? Dalam berbagai pernyataan hak atas kebenaran (claim), wayang sering dianggap sebagai “agama lokal”, meski dalam kenyataannya lebih sahih sebagai hegemoni budaya luar Nusantara. Betapa pun, dalam proses berabad-abad, sejak tahun 856 jika dihitung dari peresmian ivagrha-terduga kuat kompleks Prambanan, tempat terdapatnya relief Ramayana (Jordaan, 2009: 32); dan sejak tahun 996 jika dihitung dari adaptasi susastra tertua (Damais, 1952; 63), memang terus-menerus mengalami negosiasi, bahkan resistensi dalam penafsirannya, sampai sahih pula disebut kebudayaan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, ketika ajaran moral ini dipandang secara politis, yakni berdasarkan kepentingan para pemandangnya, sangat mungkinlah ajaran moral dibolak-balik, bahwa yang dalam pandangan moralistis merupakan perilaku terlarang, demi kepentingan politik kekuasaan malah seperti anjuran. Boleh dicurigai, segala muslihat dan tipu daya yang diceritakan kembali oleh Wâlmiki, sekitar abad ke-5 Sebelum Masehi sampai abad ke-1 Masehi, dengan sebaik-baiknya telah dimanfaatkan. Tengok kibul Rahwana berikut:
Kibul Penyesalan. Dalam versi Sunda, Rahwana hanyalah raksasa kecil dibanding tiwikrama Arjuna Sasrabahu. Setelah dikalahkan, ia diikat pada roda kereta dan karenanya selalu ikut berputar. Meskipun Rahwana menangis penuh penyesalan dan kakek buyutnya memohonkan ampun, Arjuna Sasrabahu tahu Rahwana tak bisa disadarkan. Betapa pun, ratapan Resi Pulasta itu telah meluluhkannya.
Kibul Rayuan. Sewaktu bertempur dengan Subali, Rahwana tak bisa mengalahkannya karena Subali memiliki ajian Pancasona. Akhirnya Rahwana memuja-muja Subali dan mendapat ajian itu. Subali nyaris dibunuhnya jika tidak dihalangi dewa. Hal yang sama telah dilakukannya terhadap Danapati untuk mendapatkan ajian Rawe Rontek, tapi Danapati tak diselamatkan karena telah membunuh ayahnya sendiri.
Kibul Penyamaran. Episode paling terkenal, Kala Marica menjadi kijang kencana untuk menjauhkan Rama dan Laksmana dari Dewi Sinta, sementara Rahwana menyamar sebagai pendeta tua yang minta sedekah. Meski Laksmana melindungi Sinta dengan garis lingkaran sakti, Rahwana tetap berhasil menculiknya karena Sinta mengulurkan tangan.
Kibul Penipuan 1. Untuk meyakinkan Sinta bahwa tiada gunanya menunggu Rama dan Laksmana, Rahwana memenggal anak-anaknya sendiri, Sondara dan Sondari, yang memang mirip Rama-Laksmana. Bahkan Sinta nyaris percaya, jika Trijata tidak menyeberangi laut di atas penyu raksasa ke Pancawati untuk membuktikannya sendiri.
Kibul Penipuan 2. Ketika Anggada anak Subali diutus sebagai duta ke Alengka, Rahwana memutarbalikkan fakta kematian Subali, yang dipercaya Anggada karena sudah mabuk minuman keras. Anggada kembali ke Pancawati dan mengamuk. Hanya setelah dibuat pingsan oleh Hanuman, esoknya Anggada bisa disadarkan dari fitnah Rahwana.
Mengingat Rahwana tidak bisa mati dibunuh dan akan hidup selama-lamanya, segenap tipu daya yang masih saja perlu diungkapkan menunjukkan praktik kekuasaan zamannya, yang masih berlangsung setiap kali praktik semacam diceritakan ulang. Ini seperti pengungkapan kenyataan yang secara terselubung dimanfaatkan sebagai pelajaran. Ajaran moral tentu iya, ajaran politik kekuasaan adalah kenyataannya.
Politik bersifat agonistik-agresif maupun defensif-atau konfrontasional, karena dapat dipastikan sebagai perjuangan untuk berkuasa. Menurut teoretisi politik agonistik: kita harus menerima bahwa dalam khalayak pasca-tradisional, yang melibatkan berbagai kelompok etnik dan religius, ketidaksepakatan, konflik, dan perjuangan kuasa eksis, tak selalu bisa diatasi melalui dialog dan pendidikan (Oksala, 2013: 39). Jika Indonesia yang pasca-Nusantara cocok sebagai contohnya, mestilah disadari kehadiran politik Rahwana.