Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah-tengah permasalahan sampah plastik, gaya hidup guna ulang dapat menjadi salah satu upaya untuk mengurangi sampah dan melestarikan lingkungan. Guna ulang atau reuse merupakan bagian dari hierarki sampah yang terdiri dari 3R, yaitu reuse, reduce, dan recycle.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas, bagaimana proses guna ulang dan apa saja perbedaannya dengan daur ulang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam konferensi pers Pawai Bebas Plastik 2023 yang diadakan pada Kamis, 27 Juli 2023 di Jakarta Selatan, Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) Tiza Mafira mengatakan bahwa masyarakat kadang-kadang masih bingung akan perbedaan guna ulang dan daur ulang. “Guna ulang tidak hanya digunakan dua kali; tetapi dipakai, dicuci, dipakai, dicuci. Sesimpel itu,” kata dia.
“Beda dengan daur ulang. Daur ulang itu sekali pakai, lalu didaur ulang. Ada proses kimia, proses industrial, proses yang cukup intens yang sangat berbeda dengan guna ulang.”
Tiza menjelaskan guna ulang hanya meliputi proses pencucian saja. Setelah itu, barang yang digunakan langsung disanitasi untuk kemudian digunakan kembali. Ia menyebut ini sebagai proses yang rendah emisi dan tidak menghasilkan polusi.
Perlu sistem yang mendukung
Tiza menyebut guna ulang bukan hanya soal membawa tote bag atau tumbler. Lebih dari inisiatif individu, pelaksanaan guna ulang membutuhkan sistem yang mendukung.
“Kita bawa tumbler sendiri tapi ketemu enggak tempat isi ulang air? Kan belum tentu. Kita bawa tote bag sendiri, tapi ada enggak tempat untuk mengembalikannya ketika sudah tidak dibutuhkan atau sudah terlalu banyak di rumah? Belum ada sistemnya,” kata Tiza.
Guna ulang kosmetik dan pangan
Menurut Tiza, ada tiga produk yang dapat digunakan ulang, yaitu kosmetik, pangan olahan dan pangan siap saji. “Ada kosmetik yang bisa isi ulang. Bahkan ada yang bisa dikembalikan botolnya ke produsen, lalu produsen mengisi ulang, kemudian menempatkan produknya kembali di toko mereka,” ujarnya.
Terkait ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) baru mengeluarkan regulasi baru, yaitu Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pengawasan Pembuatan dan Peredaran Kosmetik, yang mengatur proses isi ulang kosmetik. “Jadi itu kita anggap sesuatu yang positif, juga hasil dorongan kita sebagai masyarakat sipil,” kata Tiza.
Selain kosmetik, ada pangan olahan yang dapat digunakan ulang dengan cara mengembalikan botol atau toples yang menjadi wadah pangan untuk disanitasi dan dijual kembali oleh produsen. Sama halnya dengan pangan olahan, Tiza menyebut guna ulang juga dapat diterapkan dalam industri pangan siap saji, yaitu dengan cara menggunakan wadah yang bukan bersifat sekali pakai.
Menurut Tiza, sekarang sudah ada upaya-upaya seperti ini, tetapi belum meluas. “Untuk bisa skala besar, sistem seperti ini harus didukung oleh kebijakan. Jangan sampai kebijakan mendorong sekali pakai,” ujarnya.
Hal yang harus didorong saat ini, menurut Tiza, adalah pelarangan bahan sekali pakai. Tetapi, jangan sampai digantikan dengan bahan sekali pakai lainnya seperti kertas dan singkong. “Kalau diganti dengan sekali pakai lagi, akan menimbulkan masalah lingkungan di kemudian hari,” ujarnya.
Pilihan Editor: Walhi Sebut Bandung Terancam Darurat Sampah, Ini Alasannya