Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

BRWA: Wilayah Adat Teregistrasi Seluas 28,2 Juta Hektare, tapi Hanya 13,8 Persen

Ancaman terhadap masyarakat adat dan wilayah adat berpotensi masih terus berlangsung.

19 Maret 2024 | 16.14 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo mengatakan pada Maret 2024 ini BRWA telah meregistrasi 1.425 wilayah adat seluas 28,2 juta hektare di Indonesia. Total wilayah adat yang ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah mencapai 240 wilayah adat dengan luas mencapai 3,9 juta hektare.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Luasan tersebut hanya 13,8 persen dari total wilayah adat teregistrasi di BRWA. "Rendahnya capaian pengakuan wilayah adat oleh pemerintah daerah karena belum adanya program dan dana memadai yang disediakan oleh pemerintah," kata Widodo dalam konferensi pers secara virtual, Selasa, 19 Maret 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seiring dengan hal tersebut, menurut Widodo, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga memiliki pekerjaan rumah yang besar dalam menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 dalam pengakuan hutan adat.

Sampai saat ini KLHK baru menetapkan 244.195 hektare di 131 wilayah adat. Padahal, potensi hutan adat dari peta wilayah adat teregistasi di BRWA mencapai 22,8 juta hektare.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN, Rukka Sombolinggi, mengatakan pada masa transisi pemerintahan di Indonesia saat ini, kondisi kampung-kampung masyarakat adat terus mengalami tekanan investasi berbasis lahan.  

Dalam Catatan Akhir Tahun AMAN 2023, perampasan wilayah adat mencapai 2,5 juta hektare yang disertai dengan kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat adat. Sementara perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat belum ada peningkatan yang signifikan.

Menurut dia, belum adanya Undang-Undang Masyarakat Adat (UUMA) menyebabkan urusan pengakuan masyarakat adat dijalankan mengikuti peraturan perundangan sektoral. Akibatnya, tidak ada kelembagaan dan progam di tingkat nasional yang dapat menggerakkan seluruh proses perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat di Indonesia.  

Oleh karena itu, “AMAN menggugat Presiden dan DPR RI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena 15 tahun tak kunjung sahkan RUU Masyarakat Adat,” kata Rukka.

Ancaman terhadap masyarakat adat dan wilayah adat berpotensi masih terus berlangsung di masa transisi pemerintahan maupun pada masa pemerintahan mendatang. Ketiadaan UU Masyarakat Adat, masifnya investasi, dan implementasi Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah menjadi kombinasi yang sempurna terhadap perampasan wilayah adat serta penyingkiran masyarakat adat atas ruang hidupnya.  

“Momentum Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara ini hendaknya pemerintah dan DPR untuk sungguh-sungguh menjalankan amanat konstitusi UUD 45 dalam melindungi dan mengakui masyarakat adat dan wilayah adatnya. Segera membahas dan mengesahkan UU Masyarakat Adat,” kata Rukka.

Senada dengan Rukka, menurut Widodo, kerumitan yang dialami masyarakat adat dalam menghadapi kondisi politik kebijakan daerah dan birokasi pengakuan wilayah adat, hak-hak atas tanah, hutan serta wilayah pesisir laut perlu segera dihentikan. "Pemerintah pusat dan daerah perlu segera melakukan terobosan dan kemudahan bagi masyarakat adat melakukan pengakuan hak-hak masyarakat adat,” kata Widodo.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus