Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mendekati puncak musim hujan tahun ini, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung-Cisadane, Leo Eliasta, membeberkan infrastruktur pengendali banjir Jakarta yang sudah dirampungkan. "Sistem pengendalian banjir terpadu yang dilakukan sesuai masterplan yang telah ada, mulai dari bagian hulu, tengah, dan hilir," kata Leo saat dihubungi, Kamis, 14 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di bagian hulu, dia menerangkan, telah diselesaikan pembangunan dua bendungan kering atau dry dam yaitu Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi. Keduanya diplot mengurangi debit puncak Sungai Ciliwung hingga 30 persen di hulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di bagian tengah, kata Leo, dilakukan normalisasi Ciliwung dan sodetan ke kanal banjir timur. "Sodetan telah selesai dikerjakan, dan direncanakan dapat mengurangi debit di Sungai Ciliwung sebesar 60 meter kubik perdetik."
Sedangkan untuk normalisasi Sungai Ciliwung, dari rencana sepanjang 33 kilometer, menurut Leo, baru dapat diselesaikan 17 kilometer. "Sisa 16 kilometer dilaksanakan bertahap sambil dilakukan pembebasan lahan," katanya.
Di bagian hilir, Leo menambahkan, telah selesai dilaksanakan pembangunan Stasiun Pompa Ancol Sentiong dengan total kapasitas 50 meter kubik perdetik. Pompa diharap dapat mengurangi risiko banjir di tujuh kecamatan: Pademangan, Kemayoran, Tanjung Priok, Johar Baru, Senen, Cempaka Putih, dan Matraman.
Selain infrastruktur tersebut, BBWSCC, kata Leo, juga telah menyiagakan peralatan-peralatan seperti pompa mobile dan alat-alat berat sebagai upaya pengurangan dampak yang cepat di lapangan saat terjadi banjir.
Leo menyebut sudah memetakan wilayah yang rawan banjir di sepanjang Sungai Ciliwung. "Daerah-daerah ini khususnya adalah daerah di mana normalisasi Sungai Ciliwung belum dilaksanakan, seperti di Kelurahan Kampung Melayu, Cawang, Cililitan, Rawajati, Bukit Duri, dan beberapa lokasi lainnya."
Leo mengaku kalau BBWSCC telah dan senantiasa membangun komunikasi dengan pemerintah daerah sebagai bagian mengurangi risiko banjir. Hal ini, kata dia, dilakukan melalui berbagi data antar-instansi, khususnya mengenai pemantauan level muka air sungai, dari hulu, tengah, hingga ke hilir.
"Selain itu, komunikasi juga dijalin dengan BPBD setempat untuk mengantisipasi agar apabila terjadi bencana, penanganan di lapangan dan masyarakat dapat lebih lancar," kata dia.
Sebelumnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika atau BMKG memperkirakan puncak musim hujan akan banyak terjadi pada bulan November hingga Desember 2024 di wilayah Indonesia bagian barat. Puncak musim hujan di wilayah Indonesia timur pada Januari sampai Februari 2025.