Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Erupsi dengan ketinggian kolom abu mencapai 3 kilometer di Gunung Marapi Sumatra Barat, berasal dari letusan freatik. Jenis letusan atau erupsi freatik menurut pandangan para ahli kerap terjadi secara tiba-tiba tanpa ada indikasi sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petugas Pos Pemantau Gunung Api (PGA) Marapi, Ahmad Rifandi, membenarkan bahwa Gunung Marapi merupakan jenis gunung dengan tipe erupsi freatik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan penelusuran Tempo di laman resmi PVMBG, erupsi freatik merupakan erupsi yang terjadi ketika magma memanaskan air tanah atau air permukaan (kawah). Temperatur magma yang ekstrem menyebabkan penguapan air yang hampir seketika menjadi uap. Hasil dari pemanasan tersebut menyebabkan ledakan.
"Letusan freatik ini secara garis besarnya bisa mengeluarkan uap, air, debu hingga batu-batuan dan vulkanik. Untuk kasus erupsi kemarin (3 Desember 2023), erupsi di Marapi sampai mengeluarkan batuan seukuran kelereng kecil," kata Ahmad Rifandi kepada Tempo, Selasa 5 Desember 2023.
Secara sederhananya, menurut Ahmad Rifandi, erupsi freatik bisa diibaratkan serupa air dalam teko yang dipanaskan. Ketika kondisinya sudah mendidih, maka uapnya akan keluar dan menghasilkan panas.
Kondisi Gunung Marapi dengan tipe freatik itu juga lah yang menyebabkan pihak pemantau tidak bisa memastikan secara langsung kapan erupsi bakal terjadi. Antisipasi yang dilakukan PVMBG untuk mengurangi dampak bencana, hanya sampai kepada pelarangan mendekati kawah dari radius 3 kilometer sejak 2011 lalu.
"Jadi untuk antisipasinya, sejak 2011 kami terus merekomendasikan kepada para pendaki supaya tidak mendekati kawah dari radius 3 kilometer. Sebab itu pula status Gunung Marapi dari 2011 selalu berada di level II atau waspada," ujar Ahmad Rifandi.
Alat Pemantau Aktivitas di Gunung Marapi
Sementara itu, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, Hendra Gunawan mengatakan, peralatan yang disediakan untuk pemantauan gunung api di Gunung Marapi relatif lengkap. Namun, sifat Gunung Marapi dengan jenis erupsi freatik sangat sulit untuk dideteksi kapan datangnya.
"Sangat miskin gempa vulkanik di Gunung Marapi (saat dipantau menggunakan alat), gunung tersebut jarang menghasilkan gempa yang biasanya menjadi penanda erupsi pada umumnya gunung api," ungkap Hendra saat konferensi pers via zoom, Senin.
Akibat Gunung Marapi dengan jenis freatik, menyebabkan PVMBG terus merekomendasikan supaya berada di Level II. Tujuannya menurut Hendra, untuk menghindari resiko yang tidak diinginkan jika seandainya terjadi bencana di kemudian hari.
"Ini yang membuat masyarakat memandang gunung itu (Marapi) terkesan aman dan tidak apa-apa. Begini yang berbahaya, yang diam seperti ini. Secara visual memang tidak ada apa-apa," ujar Hendra.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.