Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Kajian Pembangunan Berkelanjutan Makara Universitas Indonesia bekerja sama dengan Dietplastik, Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), dan Greenpeace Indonesia melakukan survei dampak lingkungan dan sosial pemanfaatan sachet dan pouch di Jabodetabek. Dari 800 responden, 100 persen menyatakan pernah mengkonsumsi produk yang dikemas dalam sachet dan pouch.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kalau dilihat distribusinya memang sebagian besar produk itu dalam bentuk makanan, seperti mie instan, penyedap, dan sebagainya," kata Kepala Kajian Pembangunan Berkelanjutan Makara UI, Bisuk Abraham Sisungkonon dalam acara penyampaian laporan survei secara daring, Kamis, 28 Maret 2024.
Menurut Bisuk, kecenderungan pilihan masyarakat untuk mengkonsumsi produk yang dikemas sachet dan pouch karena pertimbangan harga yang jauh lebih murah. Namun, kata dia, konsumen melupakan hal lainnya: sampah yang dihasilkan juga besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap individu, kata Bisuk, bisa memproduksi sekitar 4 kilogram sampah sachet dan pouch per tahun. "Dari estimasi kami, dari timbunan sampah plastik 14-16 persen itu berupa sachet dan pouch," kata dia. Temuan ini cukup konsisten juga dengan temuan oleh lembaga lain.
Bisuk menambahkan, hasil penghitungan oleh tim mendapatkan estimasi ada Rp 1,12 - 1,6 juta sampah sachet dan pouch per ton sampah plastik. Sehingga biaya murah yang didapatkan konsumen belum memasukkan komponen dampak akibat sampah ini. Estimasi ini juga diyakini masih di batas bawah.
"Ada beberapa dampak yang belum kami masukkan. Paling signifikan itu terkait dengan mikro plastik. Dan juga penurunan dari ekowisata dan pengembangan ekonomi pesisir akibat sampah plastik yang terdampar di kawasan pantai," kata Bisuk. Namun dia menambahkan, ketika dilakukan penghentian secara total produk yang dikemas pouch dan sachet, pasti ada implikasi ekonominya.
Untuk menjawab masalah sampah sachet dan pouch ini, tim peneliti menyarankan solusi guna ulang sampah sachet dan pouch sekali pakai itu. Menurut Bisuk, 60 persen responden juga ingin mendapatkan kembali produk yang mereka pakai dengan sistem guna ulang sehingga ikut berkontribusi menjaga lingkungan.
"Selain itu, solusi guna ulang dapat berpotensi memberikan kontribusi nilai ekonomi bersih sampai dengan Rp1,5 Triliun pada tahun 2030 dengan syarat sistem guna ulang bisa memiliki standar dan infrastruktur yang memadai dengan dukungan kebijakan pemerintah," kata Bisuk.
Deputy Director Dietplastik Indonesia Rahyang Nusantara menyatakan akan menindaklanjuti studi ini. Saat ini Dietplastik sedang menyusun peta jalan sistem guna ulang bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), untuk mendukung implementasi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Rahyang berharap studi ini semakin memperkuat keyakinan bahwa sistem guna ulang bisa menjadi industri baru yang dapat berkontribusi pada kebangkitan ekonomi. Setelah melihat fakta sampah sachet dan pouch dalam laporan ini, Dietplastik Indonesia semakin yakin bahwa dalam ekonomi sirkuler, sistem guna ulang lebih tepat untuk diprioritaskan.