Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, mengatakan tidak ada teknologi yang bisa menggantikan material pasir yang sudah dikeruk di laut. Pembukaan kembali ekspor pasir laut dianggap hanya akan menimbulkan kerugian ekologi. “Yang diambil itu pasir, yang hilang pasir, dan yang akan makin amblas itu perairan kita,” kata Susan kepada Tempo, Kamis, 3 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah belakangan membuka lagi keran ekspor material dari laut dangkal yang sudah ditutup selama dua dekade terakhir. Kebijakan itu disokong dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Meski penamaan material dalam beleid tersebut adalah ‘hasil sedimentasi’, sejumlah ahli geologi menilai barang yang dikeruk itu tetap berupa pasir laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana ekspor material itu juga diperkuat dengan dua revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag), yakni Permendag Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024. Kini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sedang menyeleksi 66 perusahaan yang telah mengajukan izin untuk ekspor pasir laut.
Kiara menjadi salah satu organisasi sipil yang mengkhawatirkan dampak izin konsensi pasir laut tersebut. Menurut Susan, pengerukan pasir laut yang potensinya mencapai 17 miliar meter kubik bisa menimbulkan bencana, seperti kenaikan tinggi ombak, serta abrasi. Dampaknya juga merambat ke aktivitas nelayan.
“(Pengerukan pasir laut) membuat perairan jadi keruh, otomatis ikan tidak bisa bertumbuh dan hilang dari suatu area," ucapnya.
Bila sudah dirugikan oleh dampak penambangan pasir laut, Susan menyebut rencana pengalihan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk asuransi nelayan menjadi tak berarti. Nelayan yang kehilangan kampung pesisir kemungkinan beralih profesi dan bermigrasi ke tempat lain.
"Kampung-kampung mereka (nelayan) sudah pasti akan tenggelam" kata dia.
Senada dengan prediksi Susan, Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB), Profesor Yonvitner, juga memperkirakan penyedotan pasir laut akan menambah kekeruhan air. Air yang telah teraduk dengan sedimen halus biasanya akan bercampur kembali dengan perairan.
"Bila kegiatan pengambilan (material) dekat dengan ekosistem, bisa menyebabkan peningkatan bahan tersuspensi,” katanya kepada Tempo, Kamis, 26 September 2024.
Adapun Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Muryadi, memastikan pemerintah hanya akan mengekspor pasir hasil pembersihan endapan atau sedimen di laut. "Kalau sedimen yang diekspor, enggak laku. Mana ada orang mau beli lumpur," katanya ketika dihubungi Tempo pada Senin, 30 September lalu.
Dia menjelaskan, sedimentasi yang menebal berpotensi menjadi limbah yang mengganggu biota laut. Yang kemudian disedit, menurut Wahyu, adalah pasir yang mengendap tersebut. Mewakili KKP, dia juga mengklaim pemerintah memakai teknologi khusus untuk memisahkan pasir dan lumpur. Pasir yang tersedot bisa untuk kebutuhan di dalam negeri, misalnya reklamasi.
"Kalau lempung yang dipakai, ya tenggelam pulaunya. Reklamasinya tidak sukses, pasti habisin duit itu," ujar dia.