Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menganggap saat ini Indonesia membutuhkan adanya Undang-Undang Reforma Agraria. Untuk mewujudkan hal itu, KPA telah memberi usulan kepada Badan Legislasi DPR RI dan sejumlah fraksi di parlemen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kemarin, KPA memberikan masukan dan usulan ke Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Reforma Agraria menjadi bagian dari kerja 100 hari, agar masuk daftar Prolegnas (Program Legislasi Nasional)," kata Dewi Kartika, saat dihubungi, Sabtu, 16 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum ini, pemerintah memiliki Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria. Kemudian ada Rancangan Undang-Undang Pertanahan, yang saat ini belum ada kejelasan soal pembahasan dan pengesahannya.
Menurut Dewi, RUU Reforma Agraria bisa mencakup lebih luas daripada hanya persoalan tanah atau lahan. Mengingat reforma agraria juga soal hutan, pesisir, perairan dan lain-lain di luar yurisdiksi pertanahan. "Sebab reforma agraria tidak hanya mencakup redistribusi tanah, penyelesaian konflik agraria lintas sektor, tapi juga mencakup pengembangan ekonomi berkelanjutan," ucapnya.
RUU ini dapat memuat landasan filosofis, ideologis dan sosiologis reforma agraria sebagai pondasi pembangunan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan sila ke-5 Pancasila. Tujuannya, kata Dewi, untuk membangun wilayah pedesaan berbasis agraria melalui pemajuan sentra-sentra pertanian, pangan, dan produksi lainnya yang dimiliki rakyat.
Selain itu memakmurkan masyarakat agraris, rakyat petani, penggarap dan buruh petani, nelayan, rakyat miskin tak bertanah serta masyarakat adat. Persoalan saat ini, kata Dewi, tanah dan kekayaan alam justru untuk kepentingan investor melalui Undang-Undang Cipta Kerja. "Sudah terlalu banyak derita konflik agraria secara struktural, perampasan tanah, krisis kedaulatan pangan dan kemiskinan yang telah dialami petani dan rakyat kecil di Indonesia".
Secara historis, kata Dewi, sejak era Presiden Sukarno agenda reforma agraria selalu jadi pesan politik, direncanakan dan coba dijalankan. Pada awal rezim Sukarno terdapat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang membahas soal bagaimana negara harus mengatur seluruh sumber agraria.
Momen saat ini bisa diterapkan seiringan dengan janji politik Presiden Prabowo Subianto yang ingin mengadakan swasembada pangan. "Kita lihat saja, apakah masih ada tempat untuk konstitusionalitas petani dan seluruh masyarakat agraris," ujar Dewi.
Pilihan Editor: Gempa M5,3 di Barat Daya Tanggamus Lampung, BMKG: Tidak Berpotensi Tsunami