Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Masyarakat Adat Terancam Kebijakan Mitigasi Krisis Iklim Pemerintah

Kebijakan mitigasi krisis iklim pemerintah dianggap mengabaikan hak masyarakat adat. Bisnis perdagangan karbon dan transisi energi jadi ancaman baru.

4 Februari 2024 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Joko Widodo beserta jajarannya meresmikan Bursa Karbon di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa, 26 September 2023. Foto: Youtube Indonesia Stock Exchange

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai mitigasi krisis iklim yang digembor-gemborkan pemerintah mengabaikan kepentingan masyarakat adat. Sejumlah kebijakan pemerintah, di antaranya berupa perdagangan karbon dan transisi energi, justru dianggap menjadi ancaman baru terhadap masyarakat adat di sejumlah daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Pemerintah tak pernah memandang masyarakat adat sebagai aktor kunci dalam aksi mitigasi dan adaptasi krisis iklim,” kata Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, pada Sabtu, 3 Februari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rukka mencontohkan persoalan pada Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Emisi Karbon. Kebijakan pemerintah dalam upaya meredam emisi gas rumah kaca tersebut dinilai mengabaikan peran masyarakat adat. Peraturan tersebut menunjukkan pemerintah menguasai nilai ekonomi karbon yang dihasilkan oleh hutan. "Padahal hutan selama ini dijaga dan dirawat oleh masyarakat adat," ujarnya. Hal serupa, menurut Rukka, juga terjadi pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon Melalui Bursa Karbon. 

Rukka menilai kebijakan mengendalikan emisi karbon tersebut hanya menganakemaskan korporasi. Alih-alih memberikan jaminan terhadap hak-hak masyarakat adat, bisnis ekonomi hijau berkedok mitigasi krisis iklim malah menjadi ancaman baru. 

Dia mencontohkan masyarakat adat Aru di Maluku. Hutan di kepulauan Aru selama ini diduduki oleh pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Hayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI)--sejak Undang-Undang Cipta Kerja berganti nama Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan-Hutan Tanaman (PBPH-HT)--seluas 170 ribu hektare. Pemegang konsesi tersebut kini bekerja sama dengan entitas bisnis karbon yang hendak mengembangkan areal seluas 591,95 hektare. "Hutan yang menjadi bagian dari wilayah adat masyarakat adat Aru itu telah dikapling," kata Rukka.  

Pengabaian terhadap hak masyarakat adat juga terjadi pada pembangunan proyek energi terbarukan. Rukka mencontohkan proyek pengembangan energi panas bumi di Pulau Flores telah menggusur areal 3.778 hektare yang selama ini merupakan ruang hidup bagi 14 komunitas masyarakat adat setempat. "Proyek tersebut erdampak pada terancam hilangnya ruang hidup 4.506 jiwa anggota masyarakat adat di Pocoleok, Manggarai, Nusa Tenggara Timur," ujarnya.

Rukka menilai kondisi tersebut memperparah ancaman terhadap masyarakat adat yang terus kehilangan wilayahnya. Dalam catatan AMAN, sepanjang tahun lalu, wilayah adat seluas 2,57 juta hektare dirampas untuk kepentingan investasi dan pembangunan infrastruktur. Perampasan ini kerap disertai dengan praktik kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.

Adinda Jasmine

Adinda Jasmine

Bergabung dengan Tempo sejak 2023. Lulusan jurusan Hubungan Internasional President University ini juga aktif membangun NGO untuk mendorong pendidikan anak di Manokwari, Papua Barat.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus