Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Komputasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Emiyati mengembangkan model distribusi spasial untuk empat jenis tuna komersial di perairan kawasan maritim. Tuna merupakan komoditas yang berkontribusi pada pendapatan global dari data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Emiyati menjelaskan, data dari berbagai satelit akan dimanfaatkan untuk mendapatkan parameter-parameter oseanografi, seperti suhu permukaan laut, tinggi permukaan laut, dan seterusnya. Data itu untuk mengidentifikasi lokasi fishing zone atau potensial penangkapan ikan, baik tuna dan sejenisnya, dan juga memprediksi pergerakan tuna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuan penelitian ini, kata Emiyati, adalah membangun sebuah model spasial untuk distribusi ikan yang baik dan akurat, terutama untuk empat komersial tuna, seperti albacore (ALB), bigeye (BET), yellowfin (YFT) dan skipjack (SKJ). “Tujuan lainnya adalah untuk menguji korelasi antara faktor lingkungan laut yang memengaruhi distribusi spasial tuna tersebut dan mengidentifikasi area potensial beberapa tuna yang saling berinteraksi," kata Emiyati, melalui keterangan tertulis, Selasa, 6 Agustus 2024.
Emiyati menerangkan, kini telah berkembang pengolahan data menggunakan machine learning. Salah satunya adalah Maximum Entropy atau dikenal dengan MaxEnt. MaxEnt memiliki kelebihan dalam menangani data kompleks dan beragam sehingga bisa menangani big data. “Hal ini untuk mengidentifikasi area-area penelitian global untuk keberadaan atau munculnya tuna seperti yang telah dilakukan penelitian-penelitian sebelumnya oleh Mugo and Saitoh (2020) dan Yang (2023),” kata dia.
Emiyati menambahkan, butuh data yang panjang untuk mendapatkan pola yang stabil, karena lingkungan laut dapat dipengaruhi musim dan juga variabilitas iklim seperti El Niño dan La Niña. Oleh karena itu, pihaknya mengambil data yang panjang agar dapat melihat semua kondisi fenomena yang terjadi di wilayah kajian itu.
"Ketika menggunakan data tangkap, analisisnya akan lebih kompleks, karena berbeda alat tangkap maka hasilnya pun tidak bisa sama. Di sini, jika kita menggunakan data koordinat, kita hanya menghitung peluangnya saja dan besar peluangnya di atas 90 persen,” ucap Emiyati.
Dari sisi habitat, Emiyati juga bisa melihat fluktuasi dari pola musim. Contohnya, untuk jenis albacore pada Juni, Juli, Agustus, berada di sekitar Selatan Pulau Jawa. Di bulan Juni tuna ada di laut Banda. Pada September, Oktober, November, tuna bergerak dari Selatan ke arah Barat Pulau Sumatra. "Di sini ada pola yang existing,” katanya.