Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Studi Baru di Amerika Temukan Plastik dalam Air Hujan

Tidak ada wilayah di permukaan Bumi ini yang aman dari sampah plastik. Temuan bisa menambah alasan larangan kantong plastik di Jakarta.

3 Juli 2020 | 12.55 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kandungan mikroplastik dari hasil penelitian atas tiga merek air mineral dalam kemasan saat diteliti di laboratorium FMIPA-Universitas Indonesia, Depok, Rabu (14/3). (foto: TEMPO/ Gunawan Wicaksono)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sampah plastik tidak hanya mengotori lautan tapi juga ada di udara yang kita hirup, melayang-layang ditiup angin dan turun mengendap dari langit. Ini bisa menambah alasan di balik larangan kantong plastik di Jakarta yang berlaku per 1 juli 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah studi baru di Amerika Serikat memperkuat sejumlah makalah penelitian sebelumnya tentang temuan mikroplastik di udara, seperti yang pernah ditemukan di Eropa, Cina, dan Arktik. Studi di Amerika memperkirakan 1.000 ton fragmen mikroplastik menghujani taman nasional dan kawasan alami lainnya yang berstatus dilindungi di negara itu setiap tahunnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jumlah itu ekuivalen dengan 123-300 juta botol plastik. “Tidak ada wilayah di permukaan Bumi ini yang aman dari plastik,” kata Janice Brahney, ketua tim studi dari Utah State University, Amerika Serikat. Dia menambahkan, “Benar-benar tak nyaman memikirkannya.”

Ketika polusi plastik di tempat-tempat pembuangan akhir, di laut, dan sungai-sungai sudah ramai dibahas, riset tentang partikel mikroplastik di udara yang bisa diterbangkan angin relatif belakangan dilakukan. Adapun makalah penelitian terbaru dari Brahney dkk dipublikasikan dalam jurnal Science terbit Juni lalu.

Limbah Mikroplastik Cemari Laut

Para penelitinya mengumpulkan sampel dari 11 taman nasional dan kawasan cagar alam. Hasilnya, serpihan material plastik ditemukan pada 98 persen dari 339 sampel yang dikumpulkan; dan plastik terhitung empat persen dari partidel debu yang diuji.

Brahney mengaku sangat terkejut mendapati hasil seperti itu dari kawasan yang dipikirkannya tak terjamah peradaban tersebut. Dia bersama timnya berusaha mengkalkulasi ulang sampel sampai beberapa kali dan berharap mereka keliru. Tapi ternyata tak ada perubahan.

Brahney dan timnya mengumpulkan sampel deposit dari udara di setiap lokasi itu baik saat musim kering maupun hujan dan salju. Mereka menganalisis, partikel plastik yang berukuran relatif lebih besar turun bersama hujan dan salju, sedang yang lebih kecil terukur datang sepanjang musim kering.

Tim peneliti itu menyimpulkan kalau partikel plastik yang mengendap pada musim hujan atau dingin berasal dari wilayah sekitar. Mereka merujuk sampah plastik yang tersapu badai dari kota-kota lalu jatuh lagi bersama hujan dan salju.

Sedang partikel lebih kecil, ringan, diduga telah menempuh perjalanan sangat jauh terbawa arus massa udara tinggi di atmosfer. Mereka menjadi bagian dari siklus perpindahan debu global. Partikel yang datang saat musim kering ini diuji dan lebih dari 75 persen adalah plastik.

Serat plastik mikro yang dikumpulkan juga konsisten dengan jenis-jenis material tekstil yang digunakan dalam produksi pakaian, karpet, kemasan, dan perlengkapan luar ruangan seperti tenda dan jas hujan. Itu berarti emisi dari pengunjung taman nasional kemungkinan menyumbang ke endapan mikroplastik, terutama di taman nasional yang ramai wisatawan.

Chelsea M. Rochman, asisten profesor ekologi di University of Toronto yang juga ada dalam tim Brahney, mengatakan temuan perihal mikroplastik di tempat terpencil bukan yang pertama. Tapi mereka mengklaim yang pertama dalam penelitiannya mempertanyakan hal mendasar: kenapa dan bagaimana itu terjadi. “Dugaan partikel plastik dalam air hujan ini adalah temuan yang bisa membuat seseorang berimajinasi lebih luas,” katanya.

Brahney menambahkan, fenomena yang ditemukan itu bisa berkontribusi ke disrupsi lingkungan dari habitat mikroba dan menyebabkan kerusakan ekologis yang lebih luas. Karenanya, manusia pun bisa menanggung risiko. “Kalau ada begitu banyak partikel halus di udara berarti kita menghirupnya juga,” katanya sambal menerangkan dampak kesehatan dari partikel plastik mikro belum diketahui secara detil.

NYTIMES | SCIENCE.SCIENCEMAG

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus