Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Annisa Alfath mengungkapkan ada beberapa alasan yang sah di mana calon anggota legislatif atau caleg yang sudah terpilih bisa diminta untuk tidak dilantik. Dia mengatakan hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Peraturan KPU.
“Pertama, salah satu alasan yang paling umum adalah jika caleg terpilih mencalonkan diri untuk posisi eksekutif,” kata Annisa saat dihubungi dari Jakarta pada Kamis, 12 September 2024.
Dia mengatakan dalam hal caleg mencalonkan diri untuk posisi eksekutif—misalnya mengikuti pilkada—caleg tersebut harus mengundurkan diri dari jabatan yang seharusnya akan dilantik. KPU sudah mengatur seseorang tidak bisa menduduki jabatan eksekutif dan legislatif secara bersamaan.
Kedua, kata dia, pengunduran diri atas permintaan sendiri. Caleg terpilih dapat mengundurkan diri secara sukarela karena berbagai alasan, seperti alasan pribadi, kesehatan, atau keputusan lain yang tidak terkait dengan partai.
Ketiga, putusan pengadilan. Apabila caleg terlibat dalam kasus hukum dan ada putusan pengadilan yang inkrah atau berkekuatan hukum tetap, maka dia bisa dilarang dilantik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Keempat, meninggal. Apabila caleg terpilih meninggal sebelum dilantik, maka partai dapat menggantinya dengan caleg lain dari partai yang sama.
Partai Politik Tak Boleh Abaikan Hak Rakyat
Annisa menegaskan partai politik tidak bisa sembarangan meminta agar caleg terpilih tidak dilantik hanya berdasarkan keputusan internal partai. Secara prinsip, kata dia, anggota legislatif yang terpilih adalah representasi dari pilihan rakyat dalam pemilu. Hak rakyat ini tidak boleh diabaikan oleh partai politik.
Pergantian hanya bisa dilakukan dalam situasi yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Bahkan, jika ada permintaan dari partai, caleg terpilih masih memiliki hak untuk memperjuangkan posisinya.
Namun partai memang memiliki kewenangan mendisiplinkan kadernya. Misalnya, jika ada pelanggaran disiplin partai yang sangat serius, partai dapat memberikan sanksi.
“Tetapi, untuk mengganti atau meminta agar caleg terpilih tidak dilantik, harus ada alasan yang sah sesuai dengan undang-undang, seperti alasan-alasan yang telah disebutkan sebelumnya," ujarnya.
Pada kenyataannya, kata dia, banyak praktik pragmatis untuk melakukan pergantian antarwaktu (PAW), ada negosiasi antara caleg terpilih dan elite partai yang menjadi kesepakatan untuk mempermainkan kursi tersebut dan ini sangat disayangkan karena keterpilihan DPR akhirnya jadi tidak substansial.
KPU Menerima Surat dari Parpol Soal Penggantian Caleg
Sebelumnya, Komisioner KPU Idham Holik membenarkan bahwa pihaknya menerima surat dari beberapa partai politik untuk mengganti caleg terpilih.
“Berkenaan dengan hal tersebut, memang kami menerima beberapa surat dari pimpinan partai politik," kata Idham saat dihubungi dari Jakarta pada Rabu, 11 September 2024.
Dia menuturkan KPU pun akan melakukan kajian terhadap surat tersebut. Apabila memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, KPU akan melakukan klarifikasi baik terhadap partai politik yang mengajukan surat tersebut ataupun caleg terpilih yang digantikan atau diberhentikan tersebut.
Idham menyebutkan hal tersebut perlu dilakukan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 yang menjelaskan, apabila anggota partai politik yang diberhentikan melakukan gugatan ke pengadilan negeri, maka KPU harus menunggu selesainya pembacaan putusan gugatan tersebut.
Pilihan editor: Sederet Pernyataan Gus Ipul setelah Dilantik Jadi Mensos oleh Jokowi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini