Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - MK baru saja membacakan putusan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 pada Kamis, 2 Januari 2025. Putusan yang berisi penghapusan ketentuan presidential threshold tersebut dibacakan di Ruang Sidang Pleno MK, di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adanya keputusan menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden pada pemilu berikutnya jelas-jelas membukakan pintu lebar untuk nama calon di pilpres tahun 2029. Hal ini disampaikan Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kesempatan semua pihak, baik politisi ataupun di luar politisi untuk menjadi capres pada tahun 2029 terbuka selebar-lebarnya. Artinya, potensi capres pada tahun 2029 akan makin banyak karena tidak ada pembatasan apa pun,” katanya dilansir Antara pada Kamis, 2 Januari 2025.
Putusan ini dimulai dari permohonan gugatan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Kemudian oleh MK gugatan ini dikabulkan dan dibacakan.
Hal ini menuai polemik dari berbagai pihak, terutama Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Daniel Yusmic yang berbeda pendapat. Menurut mereka, hal seperti ini seharusnya diajukan oleh parpol dan gabungan partai politik atau yang berhubungan soal presiden. Mahkamah seharusnya menyatakan para pemohon dalam perkara tidak memiliki kedudukan hukum sehingga permohonan tidak dapat diterima.
Sebagai informasi, pada Pilpres 2024, syarat untuk mengajukan nama kandidat capres dan cawapres harus memiliki suara nasional sebanyak 20 persen atau 25 persen kursi di parlemen. Untuk itu, jika pengusung masih kurang memenuhi syarat, berkoalisi dengan partai lain menjadi salah satu caranya.
Norma pasal 222 menurut Hakim Saldi Isra melanggar moralitas, rasionalitas, serta ketidakadilan yang intolerable. “Presidential threshold berapapun besarnya atau angka presentasinya adalah bertentangan dengan pasal 6A Ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945,” katanya pada Jumat, 3 Januari 2025.
Secara jelas, Saldi mengatakan dihapusnya presidential threshold berarti semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan nama psangan calon presiden dan wakil presidennya. Bahkan, lebih jauh bagi partai politik yang tidak mengusulkan nama calon presiden dan wakil presiden akan mendapatkan sanksi berupa larangan mengikuti pemilu untuk periode selanjutnya.
Memperhitungkan hal tersebut, Dosen Ilmu Politik UI dan juga Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting Aditya Perdana, mengatakan hal ini akan berdampak pada koalisi pemerintahan yang dominan. “Kompetisi Pilpres tentunya akan memengaruhi dinamika kabinet, yakni di antara para menteri,” katanya dilansir Antara pada Jumat, 3 Januari 2025.
Menurutnya, putusan MK tentang penghapusan presidential threshold perlu diperkuat dalam pembahasan revisi UU Pemilu yang direncanakan segera digelar untuk memperkuat aspek legal dalam bentuk Undang-Undang.
Hendrik Khoirul Muhid ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Berulang-kali Digugat, Berikut Sejarah Gugatan Presidential Threshold di MK