Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INGIN jadi diplomat andal? Ahli telik sandi? Mungkin Anda bisa meniru Hariqo Wibawa Satria atau Dedi Rustandi. Hariqo belum genap sebulan ini menginjakkan kaki di lantai 22 Medco Tower Energy, di kawasan bisnis Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. Setiap Senin dan Jumat, lulusan Jurusan Perbandingan Agama Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menekuni kegiatan barunya di gedung itu sebagai mahasiswa Pascasarjana Program Studi Diplomasi Universitas Paramadina. ”Saya ingin menjadi diplomat Departemen Luar Negeri, atau bekerja di perusahaan internasional,” kata Hariqo.
Hariqo, 30 tahun, adalah angkatan pertama mahasiswa strata dua Graduate School of Diplomacy—demikian nama resminya di kampus yang didirikan mendiang Nurcholish Madjid itu. Hariqo hanya mempunyai sembilan teman kuliah. ”Jurusan ini terbatas untuk sepuluh mahasiswa saja, sehingga kuliah bisa lebih efektif,” kata Dwi Sasangko, rekan Hariqo, lulusan Jurusan Hubungan Internasional Universitas Negeri Jember, Jawa Timur. Beda dengan Hariqo, pria yang berprofesi sebagai jurnalis ini mengikuti perkuliahan demi kariernya sebagai penulis berita internasional.
Studi Diplomasi Universitas Paramadina menambah keragaman program magister di jalur yang bukan arus utama. Pembukaan program yang bukan umum itu, antara lain, dipelopori oleh Institut Teknologi Bandung, yang pada 2005 membuka Program Studi Magister Pertahanan. Di Salemba, Jakarta Pusat, Universitas Indonesia juga memiliki program khas: Kajian Strategik Intelijen. ”Program itu memang dibuka menurut kebutuhan kita, juga mencontoh negara maju yang sudah lebih dulu,” kata Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Studi diplomasi itu merupakan yang pertama di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan, mengatakan pembukaan program tersebut didorong oleh perkembangan regional dan global yang terjadi, yang berdampak pada Indonesia. ”Indonesia, antara lain, akan memasuki era kesepakatan ASEAN Free Trade Area tahun depan,” kata Anies. Karena itu, diperlukan diplomat mumpuni untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia di kancah internasional. Para diplomat itu diharapkan lahir lewat perkuliahan di studi diplomasi tersebut.
Tentu tak semua lulusannya bakal jadi diplomat seperti cita-cita Dwi Sasongko. Diplomasi memang tidak melulu berkaitan dengan hubungan antarnegara. ”Mereka tak harus jadi diplomat Departemen Luar Negeri, tapi bisa melakukan kerja diplomasi di tempat dan bidang kerja masing-masing,” kata Dinna Wisnu, Direktur Paramadina Graduate School.
Ia mengatakan, mahasiswa program diplomasi adalah para profesional. ”Selain wartawan, ada pekerja lembaga swadaya masyarakat, insinyur, penulis lepas, dan pegawai negeri,” kata doktor lulusan Ohio State University Amerika Serikat itu.
Dinna mengatakan, pembukaan program itu juga tak lepas dari keprihatinan Paramadina atas nasib para lulusan jurusan hubungan internasional. Banyak lulusan jurusan itu yang banting setir sehingga ilmunya tidak dimanfaatkan. Anggapan bahwa lulusan jurusan hubungan internasional hanya bekerja di Departemen Luar Negeri membuat mereka yang tidak tertampung menjadi gamang, tak tahu harus bekerja di mana. Dengan mengikuti program ini, mereka diharapkan mengerti bahwa diplomasi tidak cuma urusan luar negeri, melainkan juga ada peran diplomasi di tiap profesi.
Tentu saja diplomasi yang ada kaitannya dengan hubungan internasional tetap menjadi perhatian utama. Untuk menjaga agar lulusan hubungan internasional tetap di bidang keahliannya, studi diplomasi dibuat semenarik mungkin. ”Tidak hanya mempelajari apa itu hubungan internasional, tapi lebih ke aksi diplomasi,” kata Dinna Wisnu.
Pengajar program ini terdiri atas para diplomat yang sudah berpengalaman. Pengajar dari berbagai disiplin ilmu lain juga ikut memberikan materi kuliah untuk menambah bekal keahlian, misalnya ekonom Faisal Basri.
Seperti halnya program strata dua (S-2) pada umumnya, para mahasiswa diharuskan menempuh 39 satuan kredit semester dan tugas akhir. Tiap mahasiswa dikenai biaya Rp 50 juta untuk perkuliahan yang berlangsung tiga semester itu.
Adapun bidang diplomasi yang ditekankan adalah bidang ekonomi dan lingkungan hidup. ”Ini berdasarkan kepentingan nasional kita,” kata Dinna. Ia mengatakan, studi diplomasi di tiap negara memang bersandar pada kepentingan masing-masing. Amerika Serikat, misalnya, menekankan bidang pertahanan, dan Eropa menitikberatkan bidang maritim dan kolonialisme.
Di Universitas Indonesia, intelijen juga tak semata dipelajari untuk kepentingan negara atau Badan Intelijen Negara. Kajian strategik intelijen di kampus kuning ini awalnya merupakan usulan Badan Intelijen pada 2004.
Menurut kepala programnya, Fadjari Iriani Sophiaan Yudoyoko, kegagalan Badan Intelijen mendirikan sekolah intelijen di Batam membuat lembaga telik sandi itu bekerja sama dengan kampusnya. ”Itu ide dari Pak Hendropriyono, Kepala Badan Intelijen waktu itu,” kata Iriani.
Karena bekerja sama dengan Badan Intelijen, program ini banyak mempelajari ihwal intelijen negara. Seiring dengan pergantian Kepala Badan Intelijen pada 2004, lembaga itu tak lagi mengurusi sekolah intelnya itu. Toh, Iriani bertekad melanjutkan program ini meski ia bukan ahli atau pengamat intelijen. ”Kalau program studi sudah diresmikan, pantang dicabut,” katanya. Ternyata, dari hasil kajian tanpa campur tangan Badan Intelijen, justru universitas ini menemukan arti intelijen tidak hanya untuk negara. Intelijen itu juga mempelajari non-state intelligent. Karena itu, program ini bisa dipelajari oleh mereka yang bekerja sebagai karyawan perusahaan atau organisasi. ”Siapa pun bisa mengikuti kuliah ini,” katanya.
Dedi Rustandi, 31 tahun, adalah mahasiswa kajian strategik intelijen lantaran tugas belajar dari instansi pemerintah tempat dia bekerja. Lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara ini awalnya mengira kuliah di kajian ini seperti halnya kuliah operasi intelijen. ”Ternyata tidak seperti yang saya bayangkan,” katanya. Ia mengatakan, kuliah intelijen sangat menunjang pekerjaannya. Tapi Dedi tak mau menceritakan apa bidang pekerjaannya. ”Pokoknya, dari ilmu ini saya belajar membuat skenario,” katanya. Lebih misterius lagi, Rudy, 27 tahun, kuliah tanpa setahu perusahaan yang mempekerjakannya.
Menurut Iriani, program ini memang bukan buat mereka yang mencari kerja. Mahasiswanya adalah pegawai atau karyawan yang tahu manfaat intelijen untuk profesi mereka. Intelijen, kata dia, adalah ilmu mencari dan mengolah informasi. Nah, mahasiswa diharapkan mampu mencari informasi utama. Informasi itulah yang menjadi pertimbangan untuk mengambil keputusan.
Program ini tak hanya diminati lembaga negara tetapi juga swasta. Sebab, di sini diajarkan pemikiran strategis dan skenario. Ilmu ini, kata Iriani, sudah diterapkan oleh beberapa perusahaan seperti Pertamina dan Telkom.
Di program studi ini, mahasiswa harus mengeluarkan Rp 15 juta per semester, sehingga empat semester membutuhkan Rp 60 juta. ”Itu belum termasuk buku,” kata Rudy.
Dosen yang mengajar mayoritas dari dalam negeri, yaitu dari kalangan akademisi atau purnawirawan polisi dan militer. Angkatan pertama program ini 18 orang. Mereka kebanyakan berasal dari kejaksaan, Departemen Pertahanan, dan Lembaga Sandi Negara. Belakangan makin banyak karyawan swasta seperti Rudy yang ikut sekolah intelijen untuk mendukung profesinya.
Adek Media, Agung Sedayu, Akbar Tri Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo