Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=arial size=1 color=brown><B>Pemasok Dana teroris</B></font><BR />Kabut Dana di Balik Bom

Polisi menangkap orang yang diduga kurir teroris. Melibatkan fulus luar negeri.

24 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Matahari belum lagi terik. Jam masih menunjukkan angka enam lebih tiga puluh menit. Sebagian orang baru saja membuka lapak dan toko di Pasar Cibingbin, Kuningan, Jawa Barat, Sabtu pagi dua pekan lalu.

Iwan Herdiansyah, 27 tahun, juga baru saja membuka Zahra Family, warung Internet dan pengetikan komputer miliknya, ketika empat orang bersenjata tiba-tiba masuk. ”Mereka berpakaian preman dan sebagian membawa senjata laras panjang,” ujar Tisna, 42 tahun, pedagang yang sering mangkal di dekat toko komputer milik Iwan.

Keempat orang itu lalu mengangkut komputer di sana ke mobil yang diparkir. Iwan juga dibawa dengan kepala ditutup kain. Sejumlah media menyebutkan pemuda asal Tasikmalaya ini ditangkap pasukan Detasemen Khusus 88. Iwan disebut-sebut sebagai kurir yang membawa dana untuk aksi bom Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton, 17 Juli lalu.

Sepekan berselang, Iwan muncul lagi di rumahnya. Jumat pekan lalu, ia melakukan salat di masjid dekat rumah. Petugas masjid mengumumkan bebasnya Iwan menjelang salat Jumat seraya mengucapkan selamat. Selesai salat, Iwan memperlihatkan surat pembebasan berkop Markas Besar Kepolisian Indonesia. Tetangganya berdatangan mengucapkan selamat. ”Saya tidak terlibat jaringan terorisme,” ujar Iwan.

Iwan lahir pada 4 Januari 1980 dan besar di Tasikmalaya. Sejak kecil ia tinggal di Kampung Lengkong. Lulus dari Sekolah Dasar Negeri Lengkong pada 1992, ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tasikmalaya. Dari sana, Iwan belajar di Pondok Pesantren Khusnul Khotimah Cilimus, Kuningan, Jawa Barat. Hampir sepuluh tahun di sana, Iwan kemudian bekerja di Arab Saudi selama empat tahun.

Iwan hanya diam ketika ditanyai tempatnya ”menginap” selama enam hari. Ia juga memilih bungkam ketika diminta menjelaskan proses interogasi oleh polisi. Tapi ia mengakui mengenal Saifudin Zuhri, buron yang diduga merekrut pelaku bom bunuh diri Marriott-Ritz Carlton.

Kata Iwan, Saifudin mengenalkannya kepada Muhammad Ali, yang ditangkap Jumat dua pekan lalu.

Ali merupakan warga Arab Saudi yang diduga menginap di kamar 1621 Hotel JW Marriott. Sumber Tempo mengatakan penghuni kamar 1621 melakukan kontak dengan kamar 1808, tempat menginap pelaku bom bunuh diri, Dani Dwi Permana. Di kamar 1808 ini polisi menemukan bom yang gagal meledak. Hubungan telepon itu berlangsung pada 15-17 Juli. ”Sangat intensif,” katanya.

Kamar 1621 terdaftar atas nama warga negara Yaman. Kamar ini dihuni dua orang. Kedua orang itu diduga datang bersama 11 orang lain yang menyewa sejumlah kamar di Marriott.

Sumber Tempo mengatakan rombongan itu sebenarnya telah memesan hotel bintang lima di Jalan Sudirman, Jakarta, sampai 19 Juli. ”Tidak diketahui alasan kepindahan tersebut,” ujar sumber itu. Sesaat sebelum ledakan, rombongan ini baru pindah ke hotel di kawasan Sudirman itu dan langsung terbang pada 19 Juli malam.

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian Indonesia Inspektur Jenderal Nanan Soekarna mengatakan Iwan dan Ali diperiksa terkait dengan pendanaan dari luar negeri. Belakangan Iwan dibebaskan. Sedangkan Ali masih dalam pemeriksaan. Nanan mengatakan polisi belum memastikan aliran dana pelaku bom Marriott-Ritz ini. ”Masih dalam penyelidikan,” ujarnya.

Bom Marriott-Ritz diduga melibatkan donatur asing karena aksi ini direncanakan dengan sangat matang dan memerlukan dana besar. Penasihat Senior International Crisis Group Sidney Jones mengatakan jumlah dana untuk meledakkan Marriott-Ritz lebih besar ketimbang dana bom Bali 2005. ”Tapi belum dipastikan dari luar negeri,” katanya.

Bom Bali 2002 dan Marriott 2003 disokong oleh dana luar negeri melalui Hambali alias Riduan Isamuddin. Informasi adanya aliran dana asing itu berasal dari berita acara pemeriksaan Ali Ghufron alias Mukhlas dan Rusman Gunawan—adik Hambali.

Aliran dana dari Al-Qaidah juga muncul dari pengakuan Mohd. Farik bin Amin alias Zubair, warga Malaysia yang ditangkap di Thailand dan kini berada di penjara Guantanamo, Kuba.

Hambali mengajukan proposal rencana peledakan di Bali dan Marriott kepada Khalid Syah Muhammad, warga Pakistan, yang disebut-sebut sebagai tangan kanan Usamah bin Ladin. Hambali mendapat US$ 30 ribu dan 200 ribu baht. Pada bom Marriott 2003, Hambali mengajukan US$ 50 ribu.

Dana dari Pakistan singgah dulu di Bangkok. Sidney mengatakan transfer dana dilakukan dengan menggunakan mekanisme hawala—pencairan uang tanpa melalui bank atau transaksi elektronik antarnegara.

Teknisnya kira-kira begini. Misalnya A dari Pakistan hendak mengirim uang ke B di Thailand. Si A menggunakan jasa X di Pakistan. Lalu si X menghubungi Y yang merupakan jaringannya di Thailand. Nah, Y inilah yang akan memberikan uang kepada B. Utang-piutang X dan Y diselesaikan belakangan.

Hawala sering dipakai di negara muslim, seperti Arab Saudi. Transfer dana ini lebih murah, cepat, serta sulit diawasi ketimbang melalui bank. Pada aksi bom Marriott 2003, Hambali, melalui Rusman, menghubungi Ammar al-Baluchi di Pakistan untuk memberikan US$ 50 ribu kepada Zubair di Thailand. Dana itu diambil Zubair melalui jaringan Al-Baluchi di Bangkok.

Dari Bangkok, uang dibawa secara tunai ke Indonesia melalui Malaysia. Sidney mengatakan aksi bom Marriott 2003 mungkin hanya menggunakan dana US$ 15 ribu dari total US$ 50 ribu. Sisa dana itu dipakai juga dalam bom di depan Kedutaan Australia pada 2004.

Persediaan dana teroris semakin tipis sejak Hambali ditangkap di Thailand, sepuluh hari setelah bom Marriott 2003. Jaringan teroris ini mengupayakan dana dari dalam negeri, seperti merampok. Sebagian dana bom Bali 2005 diperoleh dari hasil penjarahan, misalnya toko emas di Serang, Banten.

Sidney mengatakan dana untuk aksi bom di Kuta dan Jimbaran itu sekitar US$ 2.000. Sedangkan untuk bom Marriott-Ritz paling sedikit US$ 15 ribu. Uang dipakai untuk menyewa sejumlah kamar di hotel bintang lima, menyewa mobil, membeli bahan peledak, serta menyewa rumah di Jatibening, Bekasi, dan Mampang, Jakarta Selatan, yang menjadi tempat penyimpanan dan perakitan bom.

”Besar kemungkinan uang mereka dari luar negeri,” kata Sidney. ”Tapi belum bisa dipastikan.” Kalau memang dana berasal dari luar negeri, ia mengatakan, mungkin ada figur yang menggantikan peran Hambali.

Yandi M.R., Yophiandi (Jakarta), Ivansyah (Kuningan), Sigit Zulmunir (Tasikmalaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus