Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG pertemuan Bumiputera, di lantai dua gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis pagi pekan lalu, seperti berubah jadi ajang reuni polisi dan teroris. Hampir seperempat kursi di auditorium itu diisi para polisi spesialis antiteror. Sebagian tampil necis dengan berjas dan dasi. Sementara para eks napi kasus terorisme rata-rata berpeci dan berbaju koko. ”Mereka ini alumni Afganistan,” kata mantan Kepala Detasemen Khusus 88 Mabes Polri, Brigjen (Purnawirawan) Suryadharma, yang membawa mereka ke kampus Depok.
Dua kelompok yang pernah berhadap-hadapan di lapangan itu pekan lalu bertemu tanpa ketegangan. Mereka memenuhi undangan Komisaris Besar Dr Petrus Reinhard Golose, salah satu pentolan Satuan Tugas Bom Mabes Polri, yang meluncurkan buku berjudul Deradikalisasi Terorisme: Humanis, Soul Approach, dan Menyentuh Akar Rumput. Dalam buku itu, Petrus menjelaskan dengan detail konsep dan latar belakang program deradikalisasi eks napi dan tersangka teroris yang dilakukan polisi.
Sesekali ledakan tawa terdengar tatkala Petrus melemparkan lelucon ringan di hadapan para koleganya. ”Pekerjaan saya sekarang peneliti, sedangkan polisi hanya hobi.” Sebagian besar polisi yang hadir adalah atasan dan rekan kerja Petrus di Satuan Tugas Bom Mabes Polri. Ada Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Gorries Mere, eks Kepala Satgas Brigjen Suryadharma, rekannya sesama anggota Satgas Komisaris Besar Tito Karnavian, dan sederet perwira polisi lainnya.
Lebih dari lima tahun bekerja sama di lapangan, memburu target-target teroris kelas kakap, membuat mereka amat dekat. Tak mengherankan, bila bertemu, biasanya mereka langsung berpelukan dan saling menempelkan pipi kanan dan kiri.
Merekalah ujung tombak polisi menguak jaringan pelaku teror bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, pertengahan Juli lalu. Sebagai veteran pemburu teror, para anggota Satgas hafal betul standar operasi dan model pelarian kelompok Noor Din M. Top. ”Ibaratnya, cukup dengan mencium bau tempat kejadian perkara saja, mereka sudah tahu siapa yang bermain,” kata sumber Tempo di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
SATGAS Bom pertama kali dibentuk untuk menyelidiki kasus peledakan bom di sejumlah gereja pada malam Natal akhir Desember 2001. Satuan tugas ini kemudian tenar setelah berhasil membongkar pelaku peledakan bom di Bali, setahun kemudian. Juni 2003, setelah UU Anti-Terorisme disahkan, Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar membentuk Detasemen Khusus 88 Antiteror. Sebagian besar punggawa Detasemen diambil dari pentolan-pentolan Satgas Bom.
Keberadaan Satgas sempat dipertahankan, meski sudah ada Detasemen 88. Bahkan keberadaannya diperbarui dengan sebuah surat penugasan di era kepemimpinan Kapolri Jenderal Sutanto, Maret 2007. Saat itu, struktur Satgas terdiri atas penasihat, ketua Satgas, ketua tim penyidik, dan ketua tim penyelidik. Total ada lebih dari 150 polisi yang tergabung. Asalnya beragam, di antaranya dari Polda Sulawesi, Bali, Banten, sampai Kalimantan Selatan. Kemampuan mereka macam-macam, mulai dari gegana, narkoba, brimob, sampai cybercrime.
Namun belakangan Satgas Bom akhirnya melebur ke dalam struktur Detasemen. ”Sekarang organisasinya di bawah Detasemen Khusus 88,” kata Kepala Bidang Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri, Komisaris Besar I Ketut Untung Yoga Ana, ketika dihubungi pekan lalu. Jika ada peledakan bom atau aksi teror lain, kata dia, barulah Detasemen membentuk satgas baru yang khusus bertugas menyelidiki kasus itu.
Setelah dua bom meledak di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, 17 Juli lalu, Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri menugasi para veteran ini turun gunung. Gorries Mere diminta menjadi penasihat Satgas, sedangkan Suryadharma berperan seperti konsultan informal, yang membantu analisis dan diskusi tim penyidik. Sayangnya mereka tutup mulut ketika ditanya detail penugasan ini. Suryadharma, yang ditemui seusai acara peluncuran buku Petrus Golose, menolak memberikan konfirmasi. ”Saya tidak mau bicara tentang itu,” katanya.
Pada saat mengumumkan hasil penyerbuan polisi di Jatiasih, Bekasi; dan Temanggung, Jawa Tengah, Sabtu, 8 Agustus lalu, Bambang Hendarso secara khusus memuji kinerja mereka. ”Saya bangga dengan anak-anak saya di lapangan,” katanya. Dua pentolan tim, kata Bambang, masih sakit ketika operasi penyerbuan disiapkan. Namun mereka tetap memaksakan diri hadir pada saat penyerbuan. ”Kombes Tito masih dirawat di RS Pondok Indah. Belum sembuh, tapi ia sudah cabut infusnya dan datang ke lokasi,” kata Bambang. Yang disebutnya adalah Tito Karnavian, salah seorang pentolan Satgas yang dulu pernah sukses menangkap Tommy Soeharto, buron pembunuh hakim agung Syafiuddin.
Menurut sumber Tempo di Mabes Polri, ada pembagian tugas yang jelas antara Satgas Bom dan Detasemen Khusus 88. Semua operasi Satgas, misalnya, diarahkan hanya untuk memburu dan menangkap kelompok inti Jamaah Islamiyah: Noor Din M. Top dan lingkaran terdekatnya.
Sedangkan tugas Densus 88 adalah mengejar semua tersangka teroris lainnya, mulai dari kelompok pinggiran, simpatisan, sampai pembantu aksi teror. ”Penanganan kelompok Poso, Ambon, Palembang, atau kelompok Negara Islam Indonesia, misalnya, adalah bagian Densus 88,” katanya. Pembagian tugas ini cocok dengan skala dan sebaran kekuatan Densus yang kini sudah merata ada di semua kepolisian daerah.
Anggota Satgas Bom bisa berada dalam operasi pengejaran selama berbulan-bulan. ”Operasi kami tidak pernah terputus,” kata satu perwira Satgas Bom. Hanya ada satu hambatan: kadang mereka harus mengikuti penugasan ke bagian lain. ”Soalnya, kalau tidak menduduki jabatan struktural, karier mereka bisa mentok,” kata sumber Tempo di Detasemen Khusus 88.
SEJAK buron tujuh tahun lalu, tiga kali sudah Noor Din hampir tercokok Satgas Bom. Penggerebekan polisi di kamar kos Noor Din di Bandung, November 2003, misalnya, sudah hampir membuahkan hasil. Sayangnya, Noor Din dan Azahari berhasil menyelinap sesaat sebelum tempat persembunyian mereka diserbu.
Agustus setahun kemudian, Satgas Bom kembali mencium jejak Noor Din di Cengkareng, Tangerang. Saat itu diduga Noor Din hendak meledakkan Bandara Soekarno-Hatta. Tiga hari sebelum operasi, buron ini meloloskan diri. Rupanya, Noor Din memeriksa tempat persembunyiannya setiap dua hari sekali. Jika ada hal mencurigakan sedikit saja, dia memilih menghilang.
November 2005, Noor Din lagi-lagi lolos dari lubang jarum di Semarang. Padahal saat itu seluruh jaringannya di sana dapat dicokok polisi. Mengapa begitu sulit membekuk buron satu ini? ”Ia dilindungi oleh jaringan penganut ideologinya. Ini yang membuat dia mudah bersembunyi,” kata satu penyidik polisi.
Ada satu faktor lagi yang membuat Noor Din masih bebas berkeliaran. ”Faktor keberuntungan,” kata sumber Tempo di Satgas Bom. ”Tapi hanya masalah waktu, sebelum dia tertangkap,” katanya yakin.
Wahyu Dhyatmika, Iqbal Muhtarom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo