Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEDAKAN keras itu memekakkan telinga. Lalu hening. Dua-tiga detik kemudian, terdengar tangisan seorang pria, ”Help..., help....” Ada juga suara lain, ”Oh my god..., oh my god....” Ruangan sempit yang tadinya gelap jadi benderang. Pintu kendaraan antipeluru berlapis kevlar—bahan yang mampu menahan gempuran roket—itu telah tercabik entah ke mana.
”Dengan dada terasa sangat sesak dan kaki nyeri, saya coba menenangkan Emilio yang menangis. Ketika merangkak keluar, betapa kagetnya saya: kepala saya basah oleh darah, dan sepotong kaki masih mengenakan sepatu botnya menggelantung di pundak saya. Ini kaki Letnan JC.”
Andi Jatmiko, akrab dipanggil Andi Ricardi, 44 tahun, mengisahkan detik demi detik peristiwa yang dialaminya di Kandahar, provinsi bagian selatan Afganistan, Selasa siang dua pekan lalu. Andi adalah videografer asal Indonesia yang bekerja di kantor berita Associated Press Television Network.
Bersama rekannya, Emilio Morenatti, 40 tahun, fotografer Associated Press warga negara Spanyol, Andi ikut dalam rombongan patroli pasukan Amerika Serikat. Sebagai tamu, seperti biasa, mereka nebeng di kendaraan komandan, di urutan kedua iring-iringan empat panser patroli.
Pada siang nahas itu, mereka melintasi jalanan bergelombang di gurun tandus, sekitar 24 kilometer di utara markas mereka di Kota Spin Boldak, Kandahar. Bumper belakang panser Stryker yang mereka tumpangi terantuk ranjau.
Empat orang jadi korban. Komandan patroli, Kapten JH, remuk kedua kakinya. Letnan JC lebih buruk: menggelantung di lubang gunner—lubang tembak di atap bagian belakang panser—dengan dua kaki putus. Emilio, fotografer koran terbaik dunia 2009 dari Pictures of the Year International, remuk kaki kirinya dan harus diamputasi untuk menghentikan perdarahan.
Andi lebih ”beruntung”: dua tulang rusuk kirinya patah, satu lagi retak, dan engsel pergelangan kaki kanan terpuntir. Sempat dirawat beberapa hari di Dubai, Uni Emirat Arab, Andi telah kembali ke Tanah Air, Senin pekan lalu.
SELASA, 11 Agustus, adalah hari terakhir tim Associated Press ”menempel” di Unit V Brigade Strykers di Kota Spin Boldak, tak jauh dari Pakistan, yang diyakini sebagai salah satu basis Taliban. Andi Jatmiko dan kawan-kawannya akan beralih ke satuan Strykers di kota lain. Ia sangat berharap, di daerah baru bakal mendapat gambar dan cerita yang lebih menarik.
”Terus terang, saya sudah sangat bosan di situ,” kata Andi di kediamannya di Pejaten Barat, Jakarta Selatan, Rabu pekan lalu. Berhari-hari di sana, sejak 25 Juli lalu untuk rencana sebulan penugasan, ia tak juga menemukan peristiwa dramatis.
Andi dan rekan-rekannya sedang mendapat tugas meliput aktivitas Brigade Strykers di Spin Boldak. Brigade Strykers—diambil dari nama kendaraan panser Stryker yang digunakan—merupakan brigade baru yang dibentuk Amerika dua tahun lalu untuk ditempatkan di Irak.
Setelah Barack Obama terpilih sebagai presiden, ia memutuskan tentara Amerika akan meninggalkan Irak pada 2011. Strykers pindah ke Afganistan, bergabung dengan International Security Assistance Force.
Sejak Juli 2009, mereka berangsur-angsur dikirim untuk operasi menumpas Taliban. ”Tahun ini rencananya bakal ada serangan besar menyisir Taliban,” kata Andi. Sembari menunggu operasi, mereka membantu pengamanan pemilu presiden Afgan.
Andi mengaku suasana hatinya tak nyaman. ”Feeling saya mengatakan jangan pergi, tapi kok ya hari itu saya nakal,” Andi bercerita. Gara-garanya Emilio, dengan agak memaksa, mengajaknya ikut patroli Strykers, pukul dua siang itu. ”Hari terakhir ini pasti ada sesuatu yang bisa kita ingat,” Andi menirukan rayuan Emilio.
Di Pucangsawit, Jebres, Solo, Jawa Tengah, beberapa hari sebelum kejadian, Ermestine Ackermann, 65 tahun, ibunda Andi, sebetulnya telah mendapat firasat. ”Saya bermimpi melihat potongan kaki berlumuran tanah,” kata Ermestine.
Namun sang ibu mengaku tak terlalu risau. Bahkan ketika mendengar anak keduanya—dari lima bersaudara—itu beroleh musibah, ia sudah siap mental. ”Tangan Tuhan tidak kurang panjang untuk selalu menolong hamba-Nya,” ujarnya.
Bagi Andi, kata Ermestine, luka di Afganistan ini merupakan kedua kalinya. Pada 2000, punggungnya tertembak di sana. Tak terlalu parah, karena terselamatkan rompi antipeluru. ”Tapi saya yang syok berat mendengar Andi kena tembak,” kata Ermestine. ”Dua minggu saya masuk rumah sakit.”
Meliput perang memang pekerjaan menantang maut. ”Setiap hari mereka berada di tempat yang paling berbahaya di dunia,” kata Presiden Associated Press, Tom Curley, dalam pernyataan resminya tentang Andi dan Emilio. Afganistan adalah salah satu ”neraka” itu.
Sepanjang 1992-2008, 18 wartawan tewas di sana. Belum lagi yang diculik atau terluka. Tapi, bagi Andi, menghadapi bahaya adalah risiko pekerjaan. ”Tak perlu mengeluh, saya jalani mengalir saja karena sudah merupakan pilihan,” katanya.
Kuncinya terletak pada persiapan liputan. Harus berhitung dan menyiapkan strategi. Juga memahami budaya masing-masing pihak yang bertikai, agar mudah membaur. Keselamatan merupakan prioritas utama. ”Apa gunanya liputan bagus tapi kita mengalami kecelakaan fatal,” kata Andi.
Jangan meremehkan prosedur standar operasi setiap hendak melakukan liputan ke mana pun. Misalnya, tak lupa mengenakan jaket dan helm antipeluru. Andi beruntung bekerja di Associated Press, yang paling mengutamakan keselamatan stafnya. Tak peduli kamera atau ratusan ribu dolar hilang, asal si jurnalis selamat.
Bagi ayah tujuh anak ini, semua risiko siap dihadapi karena yakin keluarganya bisa hidup dan anak-anaknya bisa melanjutkan sekolah. Associated Press sangat memperhatikan karyawan yang cacat dalam tugas. Emilio, kata Andi, diberi kompensasi senilai Rp 6 miliar dari kantor pusat. Yang tewas dalam tugas santunannya mencapai Rp 10 miliar lebih. ”Itu belum ditambah dari kantor perwakilan yang juga relatif besar,” kata Andi.
Andi merupakan sedikit dari wartawan Indonesia yang kenyang meliput daerah konflik. Dua belas tahun bergabung dengan Associated Press, ia sudah menjelajah banyak daerah konflik di negeri sendiri, seperti Aceh, Papua, Ambon, dan Timor Timur, serta medan perang di luar negeri. Ia meliput perang saudara di Fiji, invasi Amerika ke Irak, dan perang di Afganistan. ”Di Afgan sudah bolak-balik tiga kali,” katanya.
Sebelumnya, Andi pernah jadi produser di sebuah rumah produksi. Tapi krisis moneter 1997-1998 membuat perusahaannya tumbang. Andi banting setir, bahkan sempat menjadi sopir taksi. Sampai suatu hari ia bertemu Timothy Deagle, perwakilan Associated Press di Indonesia, yang mengajaknya bergabung.
Pengalaman liputan Andi yang menarik adalah ketika ia berhasil ”menempel” pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah. Lima hari dia ikut gerilyawan sampai ke sarangnya. Berbekal identitas sebagai muslim asal Indonesia, ia membangun lobi. Sayang, rekaman videonya diminta Hizbullah dengan alasan kerahasiaan.
Agus Supriyanto (Jakarta), Ahmad Rofiq (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo