Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada yang berubah pada aktivitas Sri Sultan Hamengku Buwono X. Dia tetap berdinas di kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta di Malioboro. Jumat pekan lalu, Sultan sibuk menerima rombongan investor dari Korea Selatan.
Pada 2010, Sultan sempat menyatakan akan mundur dari jabatan gubernur. Tapi masa kerjanya justru diperpanjang hingga Oktober 2011. Pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, yang bergulir sejak 2008, belum juga bertemu ujung. Padahal undang-undang inilah yang akan mengatur gubernur penggantinya.
Sultan mengaku pesimistis undang-undang itu bisa disahkan Dewan Perwakilan Rakyat dalam waktu dekat. "Akan kembali deadlock," katanya kepada Tempo. "Sebab, tidak ada perkembangan signifikan."
Menurut dia, tak kunjung rampungnya undang-undang itu terlihat dari belum adanya perubahan materi pembahasan penunjukan gubernur. Apakah gubernur mendatang ditunjuk melalui penetapan langsung oleh presiden, seperti mekanisme sebelumnya, "Atau melalui mekanisme pemilihan kepala daerah," katanya.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan kondisi ini membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dan Sultan pada 27 September lalu. Presiden menawarkan perpanjangan kembali masa jabatan Sultan selama dua tahun, guna mengantisipasi molornya pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta. "Sultan bilang satu tahun cukup, supaya RUU cepat selesai," katanya.
Kesepakatan kedua adalah Sultan akan kembali ditetapkan sebagai Gubernur Yogyakarta untuk satu periode, yaitu lima tahun, setelah masa perpanjangan jabatannya berakhir tahun ini. Keputusan soal penetapan ini akan dimasukkan ke rancangan undang-undang. "Jadi, sebelum Oktober 2012, Sultan akan otomatis menjadi gubernur lagi sampai 2017."
Kesepakatan ini tak menyelesaikan persoalan. Sebagian besar fraksi di Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat masih berkukuh pada aturan bahwa Raja Yogyakarta otomatis ditetapkan sebagai kepala daerah. Pemerintah sebaliknya: ingin Yogyakarta mengadopsi konsep yang lebih demokratis dengan memberi peluang kerabat keraton dan masyarakat maju sebagai calon gubernur.
Setelah pertemuan dengan presiden itu, Djohermansyah diminta membuat beberapa opsi yang lebih lunak menengahi kebuntuan negosiasi dengan DPR. Intinya, pemerintah tetap ingin memberi ruang bagi kerabat keraton dan masyarakat umum untuk menjadi kepala daerah Yogyakarta. "Memenuhi permintaan Presiden itu, kami mengajukan lima opsi," katanya.
Menurut dia, opsi itu di antaranya mengatur: jika Hamengku Buwono selaku Sultan dan Paku Alam maju sebagai kandidat gubernur dan wakil gubernur, apakah calon lain dari masyarakat bisa maju sebagai pesaing. Namun opsi ini dinilai rumit oleh kalangan DPR.
Djohermansyah tidak menjelaskan alasan pemerintah tak tunduk pada kehendak mayoritas fraksi di DPR, yang menginginkan penetapan dalam penentuan Gubernur Yogyakarta. "Sebagai ketua panitia kerja pemerintah, saya mendapat arahan dari menteri, sesuai dengan kesepakatan antara Sultan dan Presiden," katanya.
Belakangan opsi itu mengerucut menjadi hanya dua: non-gradasi dan gradasi. Ketua Panitia Kerja RUU Keistimewaan Yogyakarta Abdul Hakam Naja mengatakan opsi non-gradasi mengatur pengisian jabatan gubernur ditetapkan oleh dewan daerah. Sultan, kerabat Sultan, dan masyarakat umum boleh dicalonkan.
Adapun opsi gradasi mengatur, kalau Sultan maju, kerabat dan masyarakat tidak boleh maju. Misalkan Sultan tidak maju, kerabat boleh maju, masyarakat tidak boleh. "Sebaliknya, jika Sultan dan kerabat tidak maju, masyarakat boleh maju," kata Abdul Hakam.
Wakil Ketua Komisi Pemerintahan Ganjar Pranowo mengatakan opsi pemerintah itu hanya upaya mengulur waktu. "Ujung-ujungnya, pemerintah tetap ingin ada pemilihan Gubernur Yogyakarta."
Kartika Candra (Jakarta), Pribadi Wicaksono (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo