Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAKIL Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Eko Prasojo memantik polemik. Dalam wawancaranya di Tempo Edisi 22-28 Oktober 2012, guru besar administrasi publik Universitas Indonesia itu mengatakan, "Birokrasi kita hanya digerakkan 20 persen pegawai negeri. Sisanya tidak ngapa-ngapain."
Para sekretaris jenderal kementerian membahasnya. Mereka mengeluhkan pernyataan Eko kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni. "Masak, kami dibilang tak bekerja, padahal pulang jam 23.00 tiap hari," kata Ketua Umum Korps Pegawai Republik Indonesia itu menirukan koleganya. Selasa pekan lalu, ditemani sejumlah pejabat Kementerian Dalam Negeri—antara lain Kepala Biro Hukum Zudan Arif Fakrulloh dan juru bicara Reydonnyzar Moenek—Diah mengunjungi kantor Tempo untuk meluruskan pernyataan itu.
Kenapa pernyataan "birokrasi hanya digerakkan 20 persen pegawai negeri" itu mengganggu?
Karena, kalau hanya 20 persen dari 4,7 juta pegawai, itu cuma 940 ribu. Guru dari Sabang sampai Merauke saja ada dua juta. Belum paramedis di pelosok yang bekerja 24 jam. Membaca pernyataan Pak Eko, pegawai negeri sipil kecewa. Data beliau dari mana?
Angka 20 persen itu kualitatif karena persepsi terhadap banyaknya pegawai negeri yang tak bekerja….
Makanya saya minta penjelasan: itu data apa? Kalau survei, tolong sampaikan ke kami agar ada pembinaan. Dan apa indikatornya? Itu tanggung jawab kami selaku Dewan Nasional Korpri.
Kenyataan di lapangan seperti apa?
Sekarang bukan zaman pegawai negeri bermalas-malas. Bukan hanya ke kantor, mengisi absensi, terus berbelanja, bawa anak. Kami akui ada staf yang masih begitu. Tapi kadang-kadang juga karena keadaan. Mungkin mereka tak punya pembantu atau gajinya tak cukup untuk bayar pembantu. Apalagi di daerah. Kalau di kota besar, saya kira tak ada. Tak semua daerah seperti Jakarta.
Kalau pegawai negeri yang berbisnis?
Itu sudah diatur Undang-Undang Kepegawaian. Di situ jelas diatur pada pangkat dan golongan berapa pegawai negeri sipil boleh menyambi dagang. Dalam Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara nanti diatur pegawai negeri sipil tak boleh berbisnis.
Sebetulnya jumlah pegawai negeri kita kurang atau lebih?
Saya kira jumlah itu harus disesuaikan dengan kebutuhan. Analisis kebutuhan, analisis pendidikan, itu syarat melaksanakan reformasi birokrasi.
Dimulai di pusat atau daerah?
Pusat. Kami harus jadi contoh. Kami ini pembina pegawai pemerintah daerah.
Dalam reformasi itu apakah grade pegawai akan disamakan?
Harus beda. Grade pegawai Papua tentu berbeda dengan di Jawa. Passing grade ini sedang dibuat Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Juga assessment center. Sewaktu saya menjadi Kepala Biro Kepegawaian Jawa Tengah pada 1997, sudah ada assessment center untuk jadi eselon III. Mereka dinilai dulu, apakah mampu menduduki jabatan struktural, menjadi pemimpin, atau anggota staf saja.
Bagaimana di tingkat nasional?
Di Indonesia belum ada standar kompetensi jabatan, sehingga grade belum ada. Pola karier juga belum ada. Sekarang karier pegawai negeri seperti rimba belantara. Misalnya, sekarang di Kementerian Dalam Negeri ada Kepala Biro Hukum, di Kementerian Pendidikan ada Biro Hukum dan Organisasi. Jadi, orang yang duduk di sana mesti ahli hukum atau organisasi? Di lembaga lain beda lagi.
Di Undang-Undang Kementerian belum diatur?
Belum. Jadi, standar kompetensi, pola karier, standar jabatan, sampai remunerasi mesti diatur. Grade itu ikutan saja. Kalau kami memakai grade Kementerian Keuangan, lain lagi. Ranking di sana sampai 27. Remunerasi paling tinggi Rp 46,5 juta, yakni yang diterima Direktur Jenderal Pajak. Ini di luar gaji pokok, tunjangan, dan penghasilannya sebagai komisaris. Adapun gaji Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Rp 8 juta. Ini akan jadi kecemburuan. Kementerian Keuangan itu mengawal pendapatan negara. Apa lebihnya dengan kami yang mengawal keutuhan Negara Kesatuan RI? Jadi penting untuk dipikirkan: equal pay for equal work.
Apakah ada angka pasti untuk gaji pegawai agar tak korup?
Hidup layak itu relatif. Sekadar ilustrasi: jika gaji Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Rp 100 juta, saya tentu tak perlu ke mana-mana menjadi moderator seminar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo