Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=1 color=#FF9900>BUKU KONTROVERSIAL</font><br />Gurita Sembunyi di Mana

Buku Membongkar Gurita Cikeas sulit dicari. Laku hingga sepuluh kali lipat harga banderol. George Junus main pukul.

4 Januari 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DOEKOEN Coffee sesak gerah, Rabu siang pekan lalu. Kafe di kompleks rumah toko Graha Permata Pancoran, Jakarta, itu serasa cuma menampung secuil dari ruahan tamunya.

Tempat minum-kongko lima kali lima meter plus tenda di halaman dengan seratusan kursi itu tetap tak muat untuk mereka yang antusias ikut peluncuran buku Membongkar Gurita Cikeas. Luberan pengunjung pun memacetkan lalu lintas ruas Pancoran-Pasar Minggu.

Di kafe tempat mangkal bekas aktivis mahasiswa dan politikus itu, George Junus Aditjondro merupakan narasumber utama. Ada beberapa panelis dalam diskusi, di antaranya politikus Golkar, Bambang Soesatyo, dan bekas juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie Massardi.

Diskusi peluncuran buku yang mengundang kontroversi ini dipandu koordinator Petisi 28, Haris Rusly Moti. Petisi adalah kelompok politikus muda, aktivis lembaga swadaya masyarakat, dan bekas aktivis mahasiswa yang kritis terhadap pemerintahan Presiden Yudhoyono.

Diskusi ini kian melengkapi riuh rendah kontroversi buku Membongkar, sejak George meluncurkannya secara terbatas di kantor penerbit Galangpress di Yogyakarta, sepekan sebelumnya. Ramadan Pohan Haris membuka diskusi dengan mengeluhkan sulitnya mendapatkan buku itu.

Lazimnya, peluncuran buku disertai dengan penjualan. Atau, menghadiahkan buku kepada sejumlah tamu yang dianggap spesial oleh penulis dan penerbit. Tapi kali ini tidak. Panitia cuma memajang dua buku. Itu pun hanya untuk dipajang. ”Kami kehabisan, dan penerbit sudah tidak punya stok,” kata seorang penyelenggara.

Buku ”laris” ini cuma 183 halaman. Setelah kata pengantar dan daftar isi, buku ini memuat judul bab pertama yang sama persis dengan judul: ”Membongkar Gurita Cikeas, di Balik Skandal Bank Century”. Bab kedua memuat bantuan Grup Sampoerna untuk harian Jurnal Nasional.

Bab inilah yang membuat George dan bekas Pemimpin Redaksi Jurnal, Ramadan Pohan, bersitegang. Ramadan dengan nada tinggi menuding tulisan George penuh halusinasi. Rupanya George kehilangan akal jernih, dan memukulkan buku ke wajah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrat itu. ”Tiga kali dia bilang begitu. Dia yang berhalusinasi,” kata George.

Bab ketiga menulis ”Pemanfaatan Public Service Obligation Lembaga Kantor Berita Nasional Antara untuk Bravo Media Center”, tim sukses Yudhoyono bidang media. Bab keempat menulis yayasan-yayasan yang berafiliasi dengan Yudhoyono. Bab berikutnya ”Kaitan dengan Bisnis Keluarga Cikeas”. Bab keenam yayasan-yayasan yang berafiliasi dengan Ani Yudhoyono. Sebelum kesimpulan, George menulis pelanggaran pemilihan umum oleh calon anggota lembaga legislatif Partai Demokrat.

Sejak halaman 83, kurang dari separuh buku ini berisi lampiran, referensi, dan informasi tentang penulis. Lampiran memuat tim kampanye Demokrat dan calon presiden-wakil presiden Yudhoyono-Boediono, susunan Dewan Pengurus Yayasan Puri Cikeas, Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian dan aktivitasnya. Lampiran juga memuat peran Artalyta atau Ayin dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Sjamsul Nursalim, lalu tentang Yayasan Batik Indonesia dan susunan pengurus-peneliti Brighten Institute milik Yudhoyono.

Sebelum acara dimulai, sejumlah orang berusaha membeli buku itu. Tapi, itu tadi, panitia hanya punya dua buku, dan tidak untuk dijual. Farid Faqih, Koordinator Lembaga Swadaya Masyarakat Government Watch, yang hadir di acara itu, membawa sepuluh fotokopi buku. Ia tidak menjual salinan buku itu, tapi membagikannya, yang langsung habis dalam sekejap.

Penggagas peluncuran, Haris Rusly Moti, mengatakan Doekoen Coffee sempat dititipi menjualkan buku itu setelah toko buku konvensional tak menjualnya. Ada 180 eksemplar di tangannya. Dalam sehari, buku itu habis. Bekas Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik ini berusaha mendapatkan kembali buku itu dari penerbit. Tapi, ”Sampai hari ini, belum dikirim.”

Hilangnya buku di pasaran, menurut George, akibat toko menumpuknya di gudang. Setidaknya, kata dia, 500 eksemplar buku digudangkan di Toko Buku Gramedia. Menurut George, ada juga telepon gelap ke distributor dengan nada mengancam. George menganggap ada upaya sensor diri sendiri oleh distributor.

Seorang penjual buku di Jakarta menyatakan, saking langkanya buku ini, ia mendagangkan 60 buku dan habis dalam sehari. Ia bahkan menjual dengan harga Rp 400 ribu per eksemplar. Paling murah Rp 100 ribu. Padahal harga banderol cuma Rp 36 ribu.

Direktur Penerbit Galangpress Yogyakarta Julius Felicianus mengatakan perusahaannya mencetak empat ribu eksemplar. Galang langsung mendistribusikan 30 persen ke toko buku tradisional, seperti shopping center Yogyakarta. Sedangkan 70 persen ke toko buku besar, seperti Gramedia. Begitu didistribusikan, sudah laku 30 persen.

Julius mengatakan sejumlah toko buku masih menyimpan buku itu. Tapi, kata dia, pengelola toko buku tidak berani memajang setelah Presiden Yudhoyono berkomentar. Yudhoyono, melalui juru bicara Julian Aldrin Pasha, Sabtu dua pekan lalu, menyatakan prihatin terhadap terbitnya buku itu. ”Fakta-faktanya tidak akurat dan tidak mengandung kebenaran hakiki,” kata Julian.

Pernyataan itulah, menurut Julius, yang membuat toko buku mencari aman. Ia menyatakan, yang tak berani menjual semula hanya jaringan Toko Buku Gramedia di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Tapi akhirnya merembet ke Gramedia Yogyakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Cirebon.

Tudingan itu dibantah Abdul Iksan Sumino, Marketing Supervisor Gramedia Matraman, Jakarta. Ia mengatakan, hingga saat ini belum pernah menerima tawaran atau kiriman buku itu. Sebagai toko buku terbesar di Asia Tenggara, kata Iksan, Gramedia Matraman selalu menjadi tujuan utama penerbit yang akan memasarkan bukunya. ”Tidak ada tekanan juga, karena kami belum menerima buku itu,” katanya, Kamis pekan lalu.

Seorang distributor buku di Jakarta menyatakan mendapat telepon dari orang yang mengaku dari kejaksaan agar tidak menjual buku ini. Penelepon mengancam akan memperkarakan ke pengadilan jika tetap menjual. Namun kejaksaan menampik. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Didiek Darmanto mengatakan, ”Belum melarang buku itu.”

Sebaliknya, kata Julius Felicianus, pesanan ke penerbit mengalir deras. Tiga belas perguruan tinggi memesan masing-masing 50 hingga 100 eksem-plar. Sejumlah partai politik juga memesan hingga 200 eksemplar. Galangpress baru bisa memenuhi pesanan ini setelah buku yang disimpan di gudang ditarik, akhir pekan lalu.

Julius mengungkapkan, Galangpress menerima naskah George ini, Juni lalu. Waktu itu, kasus dana talangan Bank Century belum heboh. Julius menyatakan buku itu sebenarnya bentuk kekhawatiran George atas terulangnya kasus korupsi ala Soeharto pada pemerintahan saat ini. Di zaman Soeharto, banyak yayasan berdiri atas nama penguasa Orde Baru itu dan keluarganya.

Sunudyantoro, Gunanto (Jakarta), Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus