Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seratusan anak muda meraung-raungkan gas sepeda motor di jalan raya Bangil-Pasuruan, Jawa Timur, Selasa siang pekan lalu. Kebanyakan mereka bersarung dan berbaju koko. Raungan gas kian beringas ketika me reka persis berada di jalan di depan Pondok Al-Ma’hadul Islami, Desa Kenep, Kecamatan Beji, Pasuruan.
Pondok milik Yayasan Pesantren Islam ini mengintegrasikan kurikulum pesantren dengan kurikulum pendidikan umum mulai taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Orang biasa menyebutnya Pondok Pesantren Yapi.
Tak hanya main gas, mereka juga mencaci-maki penghuni Pondok Yapi sebagai sesat dan kafir. Mereka ternyata jemaah Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang baru ikut pengajian memperingati Maulid Nabi Muhammad di Pesantren Ilmu Al-Quran Singosari, Malang, yang berjarak sekitar 20 kilometer.
Jemaah Aswaja, demikian nama kelompok itu, dipimpin KH Nurkholis Musyatari dan berbasis di Bangil, Pasuruan. Sunni ahlussunnah wal jamaah merupakan aliran yang paling banyak penganutnya di Indonesia, termasuk Nahdlatul Ulama.
Anak-anak muda tadi kebanyakan dari Bangil dan sekitarnya. Nurkholis, dalam setiap pengajian, giat menyerukan bahaya Syiah bagi akidah Islam. Pengikut Aswaja menuding Pondok Yapi sebagai pusat penyebaran Syiah di Pasuruan.
Dua anggota satuan pengamanan Pondok Yapi, Sya’roni dan Shohir, akhirnya terpancing adu mulut. Dalam sekejap, konflik itu berkembang menjadi perang batu. Tak jelas siapa yang memulai. Santri Yapi menuding jemaah Aswaja yang mengawali lemparan dengan merusak kaca pos satpam. ”Mereka membawa bambu dan batu,” kata santri Yapi asal Sampang, Mohamad Zaini.
Sebaliknya, jemaah Aswaja menuduh lemparan batu pertama berasal dari Pondok Yapi. Muhammad Muslich, Koordinator Seksi Dakwah Aswaja, mengatakan, ”Mereka melempar dengan paving block. Jemaah Aswaja ada juga yang membawa pentungan. Setelah merusak pos satpam dan menjungkalkan papan nama, jemaah Aswaja merangsek ke halaman sekolah.
Ketika itu sebagian santri main futsal. Tiba-tiba jemaah Aswaja memasuki kompleks pondok dan menyatroni santri Yapi di lapangan futsal. ”Mereka menyerbu masuk ke dalam halaman sekolah,” kata Zaini, yang memberi aba-aba agar para santri membalas serangan.
Jemaah Aswaja sempat membuat santri Yapi kocar-kacir. Empat santri kena lemparan batu dan dipentungi, yakni Miqdad, 17 tahun, Abultaz alias Muhammada Baraqbah (19), Muhammad Ali Reza (15), dan Abdul Qadir (15). Mereka mengalami luka di kepala, wajah, dan tubuhnya.
Seorang polisi berpakaian preman tiba di lokasi, dan berusaha melerai, bahkan memberi dua kali tembakan peringatan. Tak serta-merta keributan berhenti. Jemaah Aswaja baru kabur setelah terdesak. Serangan itu berlangsung sekitar setengah jam. Lalu lintas di jalan raya Bangil-Pandaan pun macet sepanjang satu kilometer. Warga sekitar Pondok Yapi berhamburan ke luar rumah. ”Kami khawatir jadi korban,” kata Sutomo, yang tinggal seratus meter dari Pesantren Yapi.
Satu jam setelah kejadian, seratusan polisi tiba. Mereka memburu perusak pesantren, menyebar ke sejumlah titik, termasuk memeriksa sejumlah rumah sakit di Bangil dan Pasuruan. ”Kami menangkap tiga tersangka di Rumah Sakit Masyitoh, Bangil,” kata Kepala Kepolisian Sektor Beji Komisaris Suswandi.
Mereka adalah Abdul Muis, warga Desa Pagak, Kecamatan Beji, serta Utba bin Sueb dan Hamzah Arizona, keduanya warga Kauman, Bangil. Mereka berboncengan bertiga. Muis luka kena pukulan di kepala dan pinggang, dan diantar Utba dan Hamzah. ”Muis dipukuli santri Yapi, motornya rusak,” kata Muslich. Muis tak masuk ke halaman Pesantren Yapi. Ia menunggu di jalan, duduk di atas sepeda motor. Ia tertinggal ketika anggota jemaah Aswaja kabur ke arah Bangil.
Polisi belum bisa memastikan kelompok mana yang pertama menyerang. ”Orang banyak, tak tahu siapa yang memulai. Mereka saling ejek dan saling lempar,” kata Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Badrodin Haiti. Kamis pekan lalu, polisi menetapkan enam tersangka dengan nama inisial, yakni MU, 20 tahun, warga Singopolo, Kecamatan Bangil; HZ (24), warga Kauman, Kecamatan Bangil; serta AM (23), IM (25), HS (22), dan SK (22), keempatnya warga Pagak, Kecamatan Beji. Mereka dijerat dengan pasal penghasutan dan perusakan. Polisi telah meminta keterangan 33 saksi.
Pengurus Pondok Pesantren Yapi menyatakan telah jadi korban kekerasan sejak 2007. Pada April tahun itu, di Bangil digelar pengajian akbar yang diikuti ribuan orang. Mereka menuntut Syiah dibubarkan karena dianggap sesat. Pada November tahun yang sama, rumah sejumlah pengurus Masjid Jar hum, Bangil, dirusak ratusan orang yang menyatakan anti-Syiah.
Masjid ini merupakan salah satu pusat kegiatan pengikut ahlul bait, sebutan untuk penganut Syiah. Kelompok Aswaja menuding kaum Syiah Bangil merebut masjid ini, yang dulu merupakan masjid mereka. Saat itu mereka berusaha merebut kembali dari tangan pengikut Syiah.
Ketua Yapi Muchsin Assegaf menyatakan, dalam empat tahun terakhir, mereka sudah puluhan kali mendapat intimidasi dan kekerasan. Intimidasi makin gencar dalam sepekan sebelum kejadian Selasa itu. Ia menyatakan telah melapor kepada polisi dan pejabat pemerintah Pasuruan. ”Tapi tak ada tindak lanjut,” kata Muchsin.
Yapi didirikan Habib Husein al-Habsyi pada 1973. Pesantren Yapi punya enam ratusan santri. Pondok Yapi putra di Beji dihuni tiga ratusan santri, sedangkan sisanya santri putri tinggal di Pondok Yapi Bangil.
Ketua Jam’iyyah Ahlussunnah wal Jamaah Pasuruan KH Nurkholis Musyatari menyangkal telah menyebar hasutan. Pengajian keliling dari musala dan masjid di Pasuruan yang ia lakukan membahas akidah dan ibadah. Ia terang-terangan dalam setiap pe ngajian menyatakan aliran Syiah sesat. ”Tapi saya tak pernah menuding lembaga tertentu,” katanya.
Ia menyatakan akan menanggung seluruh risiko. Dakwah mengutuk aliran Syiah merupakan tanggung jawabnya, agar generasi muda tak terseret mengikuti ajaran Syiah. Nurkholis juga membantah jika dikatakan jemaah Aswaja sering melakukan teror dan menyerang Pesantren Yapi.
Pengurus Pondok Pesantren Yapi menyangkal disebut beraliran Syiah. Menurut Muchsin, pondok ini mengajarkan semua aliran Islam, termasuk Syiah. Tujuannya agar para santri memahami semua aliran Islam. Maka tak aneh guru ataupun santri punya beda paham. Yapi, kata dia, mengedepankan sikap toleransi, pluralisme, dan cinta sesama umat Islam. Tak ada kewajiban santri menganut Syiah ataupun Sunni ahlussunnah wal jamaah. ”Kami tetap bagian dari Islam,” kata Muchsin.
Sunudyantoro (Jakarta), Eko Widianto (Pasuruan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo