APAKAH Saudara-saudara diberi petunjuk, kalau ketemu dengan Pak Harto tak boleh menyampaikan ini dan itu? Apakah Pak Bupati atau Pak Gubernur tadi sudah membisiki Saudara-saudara?" tanya Presiden Soeharto sambil tertawa. Pertanyaan itu ditujukan pada sejumlah petani di Desa Ekasari, Kabupaten Jembrana, Bali, beberapa saat setelah ia meresmikan Bendungan Palasari di Desa Ekasari, Kabupaten Jembrana, Minggu sore pekan ini. Para petani kontan menjawab serempak, "Tidak." Lalu mereka ikut pula tertawa, seakan mengikuti tawa Kepala Negara. Maka, temu wicara Presiden dengan para petani itu berlansung dalam suasana akrab, santai, dan gembira. Tak berarti acara ini tak penting. Bagi Presiden, seperti dikatakannya sendiri, acara tatap muka dengan rakyat ini amat bermanfaat. Yakni, sebagai mandataris MPR, ia bisa mendengarkan sendiri secara terbuka dan terang-terangan berbagai laporan rakyat. "Begitu pula saya, bisa menyampaikan beberapa masalah yang perlu diikuti masyarakat secara luas," ujar Kepala Negara. Maka, pertemuan semacam ini akan sia-sia bila ternyata pertanyaan para petani disetir dari belakang oleh para pejabat, gubernur atau bupati. "Jadi, tidak begitu, to? Jadi, benar bisa dipercaya kalau Saudara tidak diberi pembatasan-pembatasan," kata Pak Harto selanjutnya. Ketika para petani menyatakan (sembari tertawa) bahwa tak ada yang menyetir mereka dari belakang, Pak Harto langsung berkomentar, "Syukur alhamdulillah." Dengan demikian, menurut Presiden, adalah tidak benar kalau ada orang yang meragukan temu wicara yang ia lakukan dengan rakyat tidak terbuka karena sudah diatur. "Mudah-mudahan mereka menyadari keterbukaan di segala masalah mengenai pembangunan itu ada," kata Presiden lebih lanjut. Dari sini, dalam pertemuan yang berlangsung sekitar setengah jam itu, Presiden melanjutkan pembicaraan mengenai masalah yang kini sedang hangat dibicarakan. Yakni soal keterbukaan. Selain Gubernur Bali Ida Bagus Oka, serta para pejabat setempat lainnya, di situ hadir pula Menteri PU Radinal Mochtar, dan Pangab Jenderal Try Sutrisno. Keterbukaan politik memang menjadi isu sentral, setelah Komisi II DPR yang dipimpin Mayor Jenderal Samsudin mengadakan tiga kali dengar pendapat dengan bekas Pangkopkamtib Jenderal (Purnawirawan) Soemitro, beberapa pakar ilmu politik, dan pengurus DPP Golkar Alfian, dan Mensesneg Moerdiono. Kemudian Pangab Jenderal Try Sutrisno, yang tampil di Komisi I DPR dalam sebuah rapat kerja Senin malam pekan lalu, turut pula membicarakan masalah keterbukaan itu. Pemimpin ABRI itu perlu menegaskan bahwa sebenarnya keterbukaan politik sudah ada selama ini. Pangab mengingatkan, sekalipun keterbukaan itu sudah terjamin sejak negara ini didirikan, ia tetap mengenal pembatasan-pembatasan. Dalam kesempatan inilah Pangab mengungkapkan bahwa tak semua pendapat anggota Fraksi ABRI pas dengan kebijaksanaan ABRI. Dengan menamsilkan suara-suara itu sebagai berasal dari alat musik, kata Try, ada yang perlu disetem, sehingga bisa kembali pas. Tiga hari kemudian, Kamis pekan lalu, di depan rapat pleno F-KP, Ketua Umum DPP Golkar Wahono turut nimbrung bicara. Senada dengan suara Pangab, Wahono mengatakan bahwa keterbukaan itu diperlukan dalam negara demokrasi, tapi ia harus mengenal tatanan, disiplin, dan tanggung jawab. Nah, kalau kemudian sekarang yang membicarakan keterbukaan itu adalah Presiden, orang nomor 1 di republik ini, tentulah soal ini sudah menjadi hal yang serius dan sangat menarik. Menurut Kepala Negara, keterbukaan dalam menyampaikan pendapat secara demokratis tidaklah bebas tanpa kendali. "Di mana pun tidak ada bebas tanpa batas itu," katanya. Diselang-selingi oleh gelak dan ketawanya yang khas, Presiden Soeharto menuraikan empat hal yang menurut beliau menjadi batas keterbukaan itu secara umum. Batas yang pertama, cara mengemukakan pendapat itu haruslah secara rasional, dengan pemikiran yang sehat, dan masuk akal. "Jangan kemudian sak-maunya sendiri saja," kata Presiden. Kemudian, janan sampai pendapat yang dikemukakan itu bertentangan dengan kepentingan rakyat. Batas ketiga, jangan sampai keterbukaan itu merusakkan persatuan bangsa. Adapun batas terakhir, menurut Presiden merupakan yang terpenting, pendapat-pendapat yang dikemukakan itu tidak bertentangan dengan landasan atau dasar negara Pancasila. Yang menarik, sekalipun sudah membeberkan berbagai ukuran yang bisa menjadi pembatas keterbukaan, Presiden tidak menunjuk seseorang atau lembaga yang bisa menjadi hakim penilai. Artinya, tak seorang pun atau sebuah lembaga pun dikatakan oleh Kepala Negara untuk mengadili adakah seseorang sudah menabrak batas itu ataukah belum. Dalam kata-kata Presiden, yang membatasi seseorang telah melanggar batas keterbukaan atau belum haruslah dirinya sendiri. Kata Presiden, "Bila ia ingin mengungkapkan sesuatu, ia mesti bisa menilai, ini bertentangan atau tidak dengan kepentingan rakyat? Kalau bertentangan, ya jangan asal njeplak." Presiden lalu tertawa. Lalu beliau menjelaskan arti kalimat yang mengandung sebuah kata bahasa Jawa njeplak itu: "Jangan asal ngomong saja, tapi betulbetul harus mengendalikan diri." Bila semua yang ia sebutkan itu dilaksanakan, menurut Presiden, akan bisa dihasilkan hal-hal yang konstruktif dan berfaedah bagi negara. Katanya lagi, "Karena itu, supaya pandai-pandai benar. Jangan sampai kebebasan demokrasi sudah diberikan, dilaksanakan mengemukakan pendapat secara terbuka, kok masih ada yang merasa belum ada kesempatan menyampaikan sesuatu secara terbuka."Amran Nasution & Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini